Jakarta, aktual.com – Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan peran paradigma Pancasila sangat penting untuk menggalang ketahanan nasional mengingat ancaman terhadap bangsa ini belakangan semakin berkembang.

“Menyadari perkembangan ancaman saat ini, serta warning dan The Fund For Peace seharusnya menggugah kesadaran kita bersama ikut berkontribusi memperbaiki dan membangun ketahanan nasional kita. Karena itu kita sepakat menggunakan paradigma Pancasila menggalang ketahanan nasional,” kata Pontjo Sutowo di Jakarta, Sabtu.

Ketika acara bedah buku “Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila”, Pontjo mengatakan dewasa ini kita berada dalam era perang generasi IV, lalu sumber ancaman bagi bangsa semakin luas dan jenisnya juga beragam.

Perang yang pada awalnya hanya melibatkan urusan militer, menurut dia kini medan pertempurannya (battle field) sudah meluas ke berbagai sendi kehidupan secara multidimensi.

“Salah satunya adalah Battle of Legislation, penggunaan mesin perang tidak lagi terbatas pada kekuatan militer melainkan sudah menggunakan berbagai kekuatan lainnya seperti politik, ekonomi, hukum (legislasi), budaya, tenaga kerja, investasi, narkoba, genetika (bakteri, virus) dan |ain-Iain,” papar dia.

Kemudian, dinamika ancaman juga telah bergerak begitu cepat sehingga muncul konsep peperangan baru yang disebut dengan Accelerated Warfare terutama ancaman yang disebabkan oleh kemajuan teknologi, sehingga menuntut respons negara yang cepat dan kreatif pula.

“Salah satu pemikiran penting yang berkembang dalam diskusi dan dituangkan dalam buku Ketahanan Nasional ini adalah digunakannya ‘Visi Pancasila’ sebagai paradigma berfikir dalam menggalang ketahanan nasional, karena ketahanan nasional itu memang harus dibangun dan dikembangkan berdasarkan falsafah bangsa sendiri, yaitu Pancasila,” tuturnya.

Munculnya pemikiran tentang paradigma Pancasila ini, lanjut dia, bukan tanpa argumentasi yang kuat, berbagai kajian dan teori menemukan bahwa ketahanan nasional suatu negara pada garis besarnya ditentukan oleh kondisi yang berkembang pada tiga ranah utama kehidupan sosial.

“Tiga ranah itu, ranah mental spiritual, ranah institusional-politikal, dan material-teknologikal. Ranah pertama lazim disebut ranah budaya, sedang ranah kedua dan ketiga lazim disebut ranah peradaban,” ujarnya.

Lebih lanjut dalam konteks Indonesia, visi Pancasila kata dia telah mengantisipasi pentingnya untuk memperhatikan ketiga ranah tersebut, ranah mental spritual basis utamanya adalah sila pertama, kedua, dan ketiga. Kemudian, institusional-politikal basisnya sila keempat, sementara material-tenologikal basisnya pada sila kelima.

“Dalam kerangka Pancasila, ketiga ranah tersebut bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan. Dalam hal ini, Pancasila sebagai ideologi tidak ditempatkan sebagai gatra yang sejajar dengan gatra politik, ekonomi, sosiaI-budaya, pertahanan dan keamanan, melainkan berdiri di atas (mengatasi) dan menjiwai gatra-gatra Iainnya,” ujar Pontjo.

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto