Sleman, aktual.com – Sejumlah pengelola desa wisata di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa terpaksa “merumahkan” beberapa kru sebagai akibat dari adanya imbauan dari Pemerintah Kabupaten Sleman untuk menunda kegiatan di luar sekolah pasca-insiden susur sungai SMPN 1 Turi pada 21 Februari 2020.
“Imbas yang kami rasakan saat ini diantaranya ada puluhan agenda yang sudah terjadwal juga ikut dibatalkan, dan ini membuat pengelola desa wisata rugi besar,” kata Ketua Desa Wisata Garongan Agus Sugiyarto di Sleman, Minggu [15/3].
Menurut Agus Sugiyarto, hingga saat ini sudah ada 52 ajang yang dibatalkan setelah keluarnya instruksi Bupati Sleman tersebut.
“Padahal Maret dan April merupakan bulan di mana banyak agenda perkemahan maupun kegiatan outbound yang sering dilakukan sejumlah sekolah,” katanya.
Ia mengatakan, jika dihitung 52 ajang atau instansi akan melibatkan jumlah peserta hampir 6.500 peserta, sehingga potensi kerugian mencapai Rp350 juta.
Agus yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Sleman tersebut menyebutkan jika selama ini mayoritas booking kegiatan di desa wisata berasal dari kalangan pendidikan yaitu TK, SD, SMP dan SMA.
“Sedangkan dari kalangan instansi maupun mahasiswa hanya sedikit yang melakukan kegiatan di desa wisata sehingga tidak terlalu berefek banyak,” katanya.
Ia mengatakan, hal tersebut tidak hanya menimpa Desa Wisata Garongan, di desa wisata lain saja itu bisa sampai 100 persen seluruh agendanya yang dibatalkan.
Ia mengatakan, tidak hanya pengelola saja yang rugi, sejumlah kru lapangan yang biasa merawat dan bertugas saat kegiatan juga ikut terkena imbasnya. Mayoritas mereka adalah warga desa setempat yang sudah berkomitmen untuk bekerja penuh di desa wisata.
“Mereka dari awal sudah komitmen di kegiatan ini dengan meninggalkan pekerjaan yang lama. Kemudian ada gaji pokok untuk pengelola juga dan kru itu ada 25 orang. Agak berat bagi kami untuk kelanjutan ini, karena sebagian besar mengandalkan dari hasil pariwisata,” katanya.
Gaji kru lapangan, kata dia, sesuai dengan standar upah minimum regional (UMR) dan dibayar tiap bulan. Sedangkan untuk pengelola, hitung-hitungannya sesuai dengan jumlah event yang diadakan dan kemudian di bagi.
“Nanti masih ada bagian ke pemerintah desa PAD Desa dengan hitungan 70 – 30 persen dari hasil yang didapat. Kalau tidak ada event seperti ini desa juga tidak dapat apa-apa,” katanya.
Menurut dia, dengan tidak adanya pemasukan selama beberapa bulan ke depan sejumlah pengelola desa wisata yang lain hanya bisa berharap dari anggaran kas yang masih tersisa.
“Kas yang tersisa diperkirakan hanya sekitar satu hingga dua bulan untuk bisa menggaji kru yang sering datang untuk membersihkan dan merawat lokasi desa wisata. Jika tidak ada perkembangan, mungkin dua bulan lagi kami akan meliburkan kru. Karena kalau dipaksakan operasionalnya membengkak, dan kas habis malah tidak bisa menjalankan usaha lagi,” katanya.
Ia mengatakan, tidak hanya pengelola dan kru saja, sejumlah penjaja kuliner yang menggantungkan hidupnya di desa wisata juga terancam. Karena tidak adanya aktivitas, tentu saja mereka tidak akan bisa menjajakan makanannya.
“Kami sedang mencari solusi agar desa wisata tetap mendapatkan pemasukan terutama untuk bisa menggaji seluruh pengurus dan kru. Salah satunya mengganti segmen pasar yang selama ini ke pelajar, coba diganti baik ke segmen keluarga maupun komunitas,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto