Jakarta, aktual.com – Penggugat pada kasus sengketa tanah SMA Negeri 2 dan Lapangan Gembira (Pacuan Kuda) Rantepao, dan beberapa bangunan fasilitas pelayanan publik milik Pemerintah Kabupaten Toraja Utara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dinyatakan menang oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Kasasi No.718 K/Pdt/2019 tanggal 12 Juni 2019. Namun, upaya untuk segera mengambilalih tanah tersebut, masih mendapat perlawanan hukum.
Warga Toraja bersama Pemerintah Daerah melalui kuasa hukumnya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara tersebut ke MA. Disinyalir ada praktik peradilan sesat dalam penanganan perkara sengketa tanah tersebut mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga peradilan tingkat kasasi di MA.
Karena itu, melalui tim kuasa hukumnya dari Pemda Toraja Utara segera mengajukan memori PK ke MA. Tim pengacara tersebut akan mengajukan sejumlah bukti baru (novum) yang menguatkan pengajuan PK ke MA.
Hal itu disampaikan Anggota Tim Kuasa Hukum Pemda Toraja Utara dan warga Toraja, Pither Singkali, Jumat (27/3/). Pither Singkali tidak memerinci bukti baru dimaksud, tetapi menurutnya, antara lain ada kekhilafan hakim dan diduga keras ada keterangan palsu dari saksi-saksi.
Alat bukti yang diajukan penggugat dalam persidangan diduga kuat palsu, karena tidak memiliki dokumen asli. Selain itu, pemohon PK ini juga mengajukan saksi baru yang memberikan keterangan sangat penting dan kuat mendukung pengajuan PK tersebut.
Menurut Pither Singkali, jika didiamkan, dugaan adanya praktik peradilan sesat tersebut, akan menjadi preseden buruk bagi dunia hukum di Toraja dan Indonesia pada umumnya.
Tidak hanya itu, Pemda Toraja Utara dan warga Toraja juga meminta Komisi Yudisial agar memeriksa para hakim yang menangani perkara tersebut mulai dari hakim PN Makale, Tana Toraja, PT Makassar, dan hakim agung di MA.
“Warga Toraja dan bersama Pemda TorajaUtara tidak akan menyerah dan membiarkan peradilan sesat ini terjadi menimpa masyarakat Toraja yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Kami akan melakukan perlawanan hukum maupun perjuangan jalur non-hukum untuk menegakkan kebenaran dan memperoleh keadilan,” tegas pengacara pendiri Topadatindo Lawyer ini.
Pither Singkali yang juga Ketua Umum Gerakan Toraja Peduli Keadilan (Gertak) ini menegaskan, sejumlah Tokoh Masyarakat dan pengacara yang berasal dari Toraja, marah dan menduga keras telah terjadi praktik peradilan sesat dalam kasus sengketa tanah SMA Negeri 2 dan Lapangan Gembira yang dulu dikenal juga sebagai Pacuan Kuda, Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Pengadilan Negeri Makale yang menyidangkan kasus tanah tersebut, memenangkan penggugat tanpa bukti-bukti yang autentik dengan Putusan Pengadilan Negeri Makale, Putusan No.2/PDT.G/2017/PN.Mak. Tgl 26 Oktober 2017.
Bukti-bukti kepemilikan yang diajukan dalam persidangan hanya berupa foto kopi dan kesaksian yang didengar dari orang lain, alias Testimonium De Auditu.
Anehnya, putusan peradilan yang dinilai sesat itu justru diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar dengan Putusan Banding No.190/PDT/2018/PT MKS. Tgl 16 Juli 2018. Keputusan hukum dua lembaga peradilan tersebut, membuat marah besar warga Toraja termasuk para alumni SMA Negeri 2 Rantepao.
Warga Toraja menilai Pengadilan Negeri Makale dan Pengadilan Tinggi Makassar telah melakukan peradian sesat, karena memutuskan perkara hanya berdasarkan bukti foto kopi dan kesaksian de auditu (saksi yang hanya mendengar dari orang lain).
Dalam amar Putusannya Pengadilan Negeri Makale yang diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar memerintahkan Pemda Torut, cs/ Para Tergugat untuk mengosongkan tanah objek sengketa dan membayar ganti rugi materil dan immateriil sebesar Rp.650.000.000.000,- (enam ratus lima puluh miliar rupiah). Ini lebih besar daripada APBD Kabupaten Toraja Utara.
Upaya kasasi Pemda dan Masyarakat Toraja Utara ke MA pun kandas, karena MA menguatkan putusan PN Makale dan PT Makassar yang sesat itu. MA lagi-lagi memenangkan penggugat melalui putusan kasasi No.718 K/Pdt/2019 tgl 12 Juni 2019.
“Ini sangat berbahaya dan melecehkan rasa keadilan masyarakat Toraja karena seharusnya Pengadilan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Ini praktik peradilan sesat, karena itu masyarakat Toraja melakukan perlawanan keras,” tegas Pither Singkali.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin