Al-Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani ra menjelaskan bahwa orang yang melakukan dzikir harus mematuhi aturan-aturan berikut;
Pertama: Tidak boleh syirik dalam dzikir.
Para ulama menyatakan, seseorang yang melakukan dzikir dengan masih mengandung unsur-unsur syirik, misalnya masih ada niat – niat lain selain Allah, maka itu akan memutuskan hubungannya kepada Allah dan menghalangi terbukanya hijab hati; sesuai dengan besar syirik yang dikandungnya.
Karena itu, setiap guru thoriqah harus memerintahkan para muridnya untuk bersungguh-sungguh dan benar dalam melakukan dzikir. Dimulai dari berdzikir dengan lisan. Setelah mantap, kemudian melakukan dzikir dengan lisan dan hati secara bersama-sama. Hal ini ini terus menerus dilakukan sampai seseorang mencapai tingkatan tertentu, dan seluruh anggota badannya bisa merasakan ikut berdzikir.
Dan hendaknya murid yang masih dalam awal perjalanannya (mubtadi’) itu tidak memperbanyak ziyadah/tambahan ibadah selain ibadah yang fardhu dan sunnah muakkad saja. Dan tidak terlalu banyak membaca al-Qur’an dan juga bacaan-bacaan lainnya. Karena hal itu merupakan wiridnya orang-orang yang telah sempurna pengenalannya terhadap keagungan Allah Taala.
Seorang mubtadi’ dalam thariqah hendaknya memperbanyak dzikir “لآ اله إلالله” bil Jahr (dengan lantang) dan penekanan pada kalimat “إلالله” sambil ia hujamkan kalimat tersebut ke dada sebelah kiri; qalbu. Dan ia terus ulangi pada lafadz “لآ اله إلالله” dengan menariknya dari pusar hingga naik ke ubun-ubun dan kemudian ia hujamkan lagi ke dada sebelah kiri dengan Kalimah “إلالله“. Sebagaimana keterangan yang kami dapatkan dari Maulana Syekh Fadhil Al-Jilani dan juga keterangan dalam kitab Miftahul Falah Sidy Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari ra.
Kedua: Mengosongkan perut.
Artinya, orang yang melakukan dzikir, sedikit demi sedikit harus mengurangi makannya. perlahan ia mulai melatih dirinya berpuasa dengan puasa sunnah, bisa senin-kamis atau Ayyamul bidh sebagaimana biasa kita amalkan bersama ikhwan dan ahlu Zawiyah setiap tengah bulan hijriyah. Juga ia haru mengurangi perkataan-perkataan yang tidak perlu, mengurangi tidur dan menghindarkan diri dari pergaulan masyarakat yang tidak benar. Ini penting, dan seseorang yang mematangkan tauhidnya memang harus berbuat demikian. Sebab, tanpa kelakuan itu semua. Nurnya tauhidnya akan redup, kemudian mati. Dan kenyataannya, para guru thoriqah banyak yang tidak bisa membimbing murid-muridnya ketika mereka merusak (tidak melakukan sesuai) aturan-aturan tersebut.
Ketiga, Melakukan dzikir dengan suara keras (Jahr).
Ini untuk orang-orang pemula. Dengan suara keras, maka dorongan-dorongan hati, Lamunan-Lamunan dan lain-lain akan mudah dihilangkan. Sebaliknya, bila mereka para pemula melakukan dzikir secara pelan, dzikirnya akan mudah hilang, mudah terlena dan tidak bisa khusyuk. Gampang ngantuk. Adapun dzikir Jahr caranya sebagaimana disebutkan diatas tadi yakni dengan memperbanyak berdzikir laa ilaaha illaa Allah.
Keempat, harus didasarkan pada niat atau kehendak yang kuat.
Maksudnya, orang yang melakukan dzikir harus mempunyai niat, kehendak dan harapan yang kuat untuk berhasil dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para ulama menyatakan, “Seorang murid harus melakukan dzikir dengan didasari hati dan kehendak yang kuat,sehingga tidak ada tempat sedikitpun dalam hati dan bagian tubuhnya, kecuali semua ikut bergetar berdzikir kepada Allah”. Para ulama menyamakan kuatnya dzikir ini dengan batu. Yaitu, Bagaimanapun kuat dan kerasnya batu, ia akan bisa terpecahkan dengan kekuatan. Begitu pula dengan keras dan rusaknya hati akan lunak dan tertundukkan oleh dzikir. Asal dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kemauan yang kuat.
Maka diantara fungsi rabithah kita kepada guru adalah untuk menghadirkan himmah (tekad) sang guru. ketika tawassul hadiah fatihah kepada guru jangan hanya menghadirkan wujud atau bayangan guru tapi juga hadirkan himmah / tekad / semangat para guru kita. agar limpahan-limpahan ruhani yang guru kita terima berupa himmatul ‘aliyah (tekad/semangat/cita-cita yg tinggi) mengucur kepada kita. Dan mengantarkan kita melalui himmah para guru kita dalam mata rantai / silsilah masyayikh kita terus hingga kepada Rasulullah saw.
Kesimpulannya, dalam berdzikir jangan lepas tiga hal :
1. Ikhlas,
2. Yakin kepada guru dan wirid yang diajarkan,
3. Rabithah.
Tiga hal ini yang akan mengantarkan kita kepada maqam Fanaa’. Fanaa’ itu ada tiga tingkatan:
1. Fanaa’ fis Syaikh, (lebur dan sirna dalam himmah / tekad sang guru)
2. Fanaa’ fir Rosuul (lebur dan sirna dalam cahaya dan hakikat Rasulullah saw.)
3. Fanaa’ fillaah. (lebur dan sirna dalam hakikat Tauhid).
Dari sini jelas bahwa perjalanan kita masih sangat jauh. Karena yang bisa mencicipi fanaa’ fis Syaikh saja sangat sedikit. Semoga kita diberikan keistiqomahan oleh Allah dalam berdzikir.
Wallahu A’lam bisshawab
RESUME KAJIAN TASAWUF BERSAMA KH. MUHAMMAD DANIAL NAFIS Hafizhahullah
Via Zoom Cloud Meeting 20.30 – 23.00 Selasa 7 April 2020 / 13 Sya’ban 1441