Jakarta, (14/4) Aktual.com – Di tengah masyarakat Indonesia berdukacita atas wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang menyebabkan 399 orang meninggal dunia hingga Senin (13/4), pada tanggal 12 April tiga anggota Polri meninggal dunia akibat bentrok dengan sejumlah prajurit TNI AD di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua.
Bentrokan tersebut juga telah melukai dua anggota Bhayangkara lainnya. Akibat bentrokan antara aparat keamanan dengan jajaran pertahanan tersebut, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Pol. Paulus Waterpauw telah bertemu dengan Panglima Kodam XVII Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Herman Asaribab. Mereka mendatangi tempat kejadian perkara.
Satuan TNI Angkatan Darat itu adalah Batalyon Infanteri 755 yang berinduk pada Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad) di Jakarta.
Kapolda Papua Irjen Pol. Paulus Waterpauw telah menyampaikan rasa dukacitanya dan penyesalan atas meninggalnya tiga anggotanya.
Selanjutnya, Polda Papua dan Kodam Cendrawasih berjanji akan mengusut terjadinya tindakan kekerasan itu, kata Komandan Komando Resort Militer (Korem) 172/ Praja Yakti Kolonel Infantri Binsar Sianipar.
Angkatan Darat telah menegaskan akan menindak tegas prajurit-prajuritnya jika terbukti bersalah melawan hukum dengan menembak polisi.
Kedua pihak telah menerjunkan sejumlah perwiranya guna mengusut kasus berdarah ini.
Yang patut masyarakat pertanyakan adalah kenapa sampai terjadi tindakan kekerasan antara para prajurit tersebut.
Berdasarkan laporan sejumlah media massa, terungkap bahwa awal mula peristiwa itu terjadi tatkala ada pengojek yang diperiksa oleh polisi, kemudian mengadu kepada tentara.
Tentu kebenaran kabar itu harus diteliti oleh Polri dan AD sehingga dengan mudah bisa ditentukan siapa yang paling bersalah dan mengapa pertumpahan darah harus sampai terjadi.
Yang paling mudah ditemukan penyebabnya adalah kedua pihak, baik anggota Polri maupun TNI, memiliki prajurit yang masih sangat muda usianya, rata-rata 25—30 tahun, sehingga sangat gampang sekali tersulut emosinya. Apalagi, jika ada rasa “paling berjasa” dalam menjaga keamanan dan pertahanan di negara tercinta ini.
Prajurit Yon Infantri TNI AD ini baru berpangkat prajurit dua hingga sersan dua, sementara personel Polri juga memiliki pangkat yang sama. Jadi, mereka “dikompori” oleh satu pihak maka akan tersulut emosinya, misalnya bhayangakara dua ataupun bhayangkara satu.
Polri memiliki kurang lebih 465.000 anggota yang sebagian besarnya masih muda-muda. Sementara itu, TNI Angkatan Darat mempunyai kurang lebih 350.000 prajurit yang sebagian besar juga masih berusia muda.
Jadi, tak mengherankan jika kedua pihak gampang sekali “naik darah”, kemudian melepaskan emosinya dengan cara yang asal-asalan. Apalagi, jika sudah lama berpisah dengan keluarganya.
Pertikaian antara tentara dan polisi telah amat sering terjadi. Namun, masyarakat jarang sekali melihat atau mendengar kerusuhan antara pasukan elite TNI Angkatan Udara (Pasukan Khas TNI AU) dan Marinir milik TNI AL.
Rasanya hampir tak pernah terdengar bentrokan antara prajurit Polri dan Paskhas AU ataupun Marinir.
Puja Marinir
Masyarakat kemungkinan besar tidak bisa melupakan pada saat terjadinya pergantian pemerintahan pada bulan April dan Mei 1998, DKI Jakarta dijaga oleh prajurit-prajurit Marinir, TNI Angkatan Laut. Demonstran yang sebagian besar adalah mahasiswa praktis tidak ada yang berani melawan atau “membangkang” terhadap perintah Marinir.
Pertanyaan yang muncul saat itu adalah kenapa para mahasiswa dan demonstran lainnya sampai tunduk terhadap perintah atau sekarabg istilahnya “imbauan” supaya tidak merusak keamanan, padahal prajurit-prajurit Marinir di lapangan adalah juga muda-muda, seperti Mamberamo Raya, Papua?
Jawaban yang paling mudah dicerna saat itu adalah para parjurit Marinir yang berusia muda itu sangat patuh dan taat kepada komandan-komandan mereka.
Jadi, jika rakyat Papua khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya kembali ke kasus Mamberamo itu, pertanyaannya ialah sudahkah komandan di tingkat paling bawah mulai dari komandan regu (danru) hingga komandan peleton (danton) benar-benar mengeluarkan perintah untuk mengendalikan diri dan emosi sehingga tak terjadi pertumpahan darah?
Setiap komandan pada jenjang apa pun juga harus memiliki wibawa di mata semua anak buahnya tanpa kecuali. Makin tinggi jenjang kekomandannya maka yang bersangkutan haruslah makin dihargai oleh semua prajuritnya, bukannya ditakuti.
Peristiwa di Mamberamo Raya dan juga kasus penyerangan kantor polisi di Jakarta Timur sekitar akhir tahun 2018 yang diduga dilakukan oleh prajurit-prajurit TNI (yang rasanya sampai sekarang tidak diketahui penyebab utamanya) seharusnya menumbuhkan kesadaran di antara Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan ketiga kepala staf angkatan serta pimpinan Polri bahwa pembinaan mental dan disiplin harus terus-menerus dilakukan terhadap seluruh prajurit TNI dan juga Polri.
Setiap angkatan, baik TNI AD, TNI AU, maupun TNI AL, dan Polri memiliki satuan yang lazimnya disebut dinas pembinaan mental (disbintal).
Semua kepala disbintal haruslah benar-benar seorang prajurit yang setia terhadap Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Kepala disbintal baik di kalangan TNI maupun Polri haruslah prajurit yang benar-benar terbukti mengabdi kepada korpsnya masing-masing kepala disbintal TNI ataupun Pori janganlah menjadi “orang-orang buangan”.
TNI dan Polri akan terus bertambah jumlah prajuritnya sehingga perlu pembinaan mental personel yang kian ketat.
Janganlah patokan atau kriteria kenaikan pangkat dan jabatan hanya berdasarkan “angka-angka” matematis. Namun, juga harus memperhatikan sikap dan juga disiplin, tidak hanya bagi lingkungan internal, tetapi juga terhadap hal-hal eksternal. Misalnya, bagaimana membina hubungan yang baik dengan rekan-rekan dari angkatan yang lainnya dan juga Polri.
Apabila TNI AD, TNI AL, dan TNI AU akan memiliki senjata yang daya pukul alias daya hancurnya makin hebat, semua prajuritnya juga harus mengimbangi dirinya dengan disiplin yang makin baik alias sempurna, bukan malahan sebaliknya.
Seluruh rakyat Indonesia berhak memiliki prajurit-prajurit yang memiliki sikap rendah hati dan sama sekali tidak “sok tahu atau sok benar”.
*) Arnaz Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982—2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987—2009
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin