Jakarta, (27/4) Aktual.com – Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) adalah amanat reformasi 1998 yang diperjuangkan dengan tetesan darah dan air mata.
Namun ada argumentasi begini, menurut Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia menganut Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Kata ‘Perwakilan’ itu lah yang sering dipakai sebagian elit politik untuk membenarkan sistem pemilu tidak langsung atau pemilihan umum yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).
Di masa sebelum reformasi dulu, memang pernah dilakukan pemilu dengan sistem perwakilan MPR RI itu. Namun yang perlu diperhatikan adalah tingkat partisipasi publik di saat pemungutan suara Pemilu langsung. Pada 2019, partisipasi publik pada pemungutan suara Pemilu mencapai 80,90 persen.
Angka itu telah melampaui target RPJMN 2015-2019 sebesar 77,5 persen. Hal itu membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak ingin abstain dalam menentukan siapa yang menjadi pemimpin roda pemerintahan Republik Indonesia.
Berarti, Pemilu langsung sudah benar, hanya mungkin sistemnya saja yang perlu ada pembenahan.
Sebelum masuk ke poin yang perlu dibenahi dalam sistem Pemilu langsung, ingin mengajak pembaca mengandaikan Komisi Pemilihan Umum RI sebagai pelaksana tugas perwakilan rakyat untuk pemilu di Indonesia. Supaya, tidak ada yang menyebut Pemilu langsung menyalahi Konstitusi UUD 1945.
Pembenahan Pemilu
Kita sekarang sepakat jika Pemilu langsung adalah yang diinginkan rakyat Indonesia. Terbukti dari tingginya tingkat partisipasi pemilih dalam pemungutan suara Pemilu langsung 2019 lalu.
Namun, Pemilu langsung itu masih memiliki kekurangan dari segi waktu untuk mengetahui hasilnya yang sangat lama. Komisioner KPU RI Viryan Aziz mengakui ada jeda waktu 34 hari untuk proses rekapitulasi suara dengan sistem Pemilu langsung.
Viryan mengatakan hal itu dikarenakan selama ini rekapitulasi suara dilakukan dalam rapat pleno terbuka dan berjenjang dari tingkat Tempat Pemungutan Suara, daerah hingga tingkat pusat.
“Mulai dari (Rekapitulasi Suara) TPS, kurang lebih ada 813.000 TPS, kemudian dari TPS naik ke (Rekapitulasi Suara) Kecamatan, kemudian naik lagi ke (Rekapitulasi Suara) KPU Kabupaten/ Kota, naik lagi ke (Rekapitulasi Suara) KPU Provinsi, dan naik lagi ke (Rekapitulasi Suara) KPU Pusat,” kata Viryan dalam web seminar yang diselenggarakan di akun Youtube PPIDK Amerika Eropa tentang penghitungan suara elektronik untuk pemilihan umum masa depan, Sabtu (25/4/2020).
Viryan mengatakan KPU RI kemudian menawarkan pembenahan proses yang lama tadi dengan Sistem Rekapitulasi Elektronik bernama Situng.
Namun, Situng justru menimbulkan masalah baru yaitu banyak diragukan oleh masyarakat terutama karena munculnya kabar bahwa data pada server Situng dapat dimanipulasi oleh peretas (hacker).
Untuk itu pada Pemilu 2019 lalu, KPU RI menyatakan bahwa hasil rekapitulasi Situng bukan hasil final. Sebab, hasil final tetap ditentukan oleh sistem rekapitulasi manual yaitu melalui rapat pleno terbuka dan berjenjang.
Rencananya, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 nanti, KPU RI ingin mengembangkan aplikasi Situng supaya hasilnya lebih dapat dipercaya masyarakat.
Dari hanya merupakan hasil sementara, hasil Situng direncanakan untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi hasil resmi dan final dari rekapitulasi suara Pilkada 2020, demikian kata Viryan.
“Jadi kami sedang melangkah, tapi sekali lagi ini masih dalam proses, bisa diterapkan dalam Pilkada serentak tahun 2020. Kalau ditanya apakah sudah pasti diterapkan? (Jawabnya) belum tentu. Jadi kami memperhatikan juga kondisi masyarakat. Sebagai catatan, tahun lalu masih banyak masyarakat kita yang (meragukan). (Sehingga) kami jelaskan berkali-kali bahwa hasil rekap manual adalah yang final,” kata Viryan.
Adapun gambaran secara singkat mekanisme rekapitulasi suara elektronik memakai Situng dapat dilihat dalam diagram berikut:
Pandangan BSSN
Direktur Proteksi Ekonomi Digital Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Anton Setiyawan mengatakan memang sebetulnya KPU RI sudah tepat menerapkan mekanisme rekapitulasi elektronik seperti Situng yang tetap mengakomodir cara-cara dalam sistem rekapitulasi manual yaitu berjenjang dan terbuka.
Namun, Anton mengatakan kalau dalam perhitungan suara manual berjalan pengecekan oleh masyarakat, mulai dari TPS, Kecamatan, Kabupaten/Kota, kemudian Provinsi sampai ke tingkat Pusat, dalam teknologi Situng pun KPU RI harus memastikan proses itu semua tetap terlaksana dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia.
“Biasanya kami sebut itu audit trial itu. Jadi (masyarakat) kita bisa mengaudit balik, melihat tahapan sehingga ketika orang-orang meragukan ini enggak benar dan manipulatif, mereka bisa buktikan dengan standar audit yang ada,” kata Anton.
Prinsip-prinsip itu harus dipenuhi dalam sistem Situng dan dituangkan KPU RI sesuai kebutuhan.
Anton menilai wajar apabila dalam setiap sistem, apalagi sistem elektronik, terdapat hal-hal yang merintanginya.
Seperti mencoba melumpuhkan layanan elektronik yang sedang berjalan tersebut (denial of service attacks) dengan cara membanjiri sistem itu dengan paket-paket entitas dunia maya (Internet Protocol, jaringan, dan sebagainya).
“Banjir paket terlalu banyak, kemudian (membuat layanan) dia menjadi tidak berfungsi atau macet (hang), begitu kan?” kata Anton.
Kemudian, adanya orang yang mencoba mengakses sesuatu yang tidak diperbolehkan (ilegal access) untuk memanipulasi, mengirimkan ransomware untuk mengunci sistem atau malah menghancurkan layanan elektronik tersebut.
Kemudian ada juga ancaman pencurian data pribadi dengan metode phising dan scamming untuk menyerang kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Untuk mengatasi itu, maka otentikasi dan verifikasi pengguna transaksi elektronik menjadi salah satu yang harus disediakan KPU RI dalam Situng.
Anton mencontohkan dengan pembuatan sertifikat elektronik sebagai tanda tangan digital (digital signature) bagi para pemilih yang ingin mengakses dan bertransaksi elektronik dalam aplikasi Situng tersebut.
Kemudian, setelah itu KPU RI harus menetapkan enkripsi yang cukup kuat (lightweight encryption) sehingga mampu menjaga keamanan data tapi tetap bisa berjalan di banyak platform elektronik.
KPU RI juga disarankan meningkatkan kapasitas layanan dan manajemen layanan Situng sehingga jangan sampai berjalan berat meski yang mengaksesnya ada ratusan juta entitas di dunia maya. Hal itu berpengaruh pada kredibilitas layanan Situng bagi masyarakat.
Terakhir, KPU RI harus dapat melewati guncangan budaya yang dialami masyarakat yang belum terbiasa menghadapi rekapitulasi suara menggunakan teknologi melalui Situng.
“Bagaimana masyarakat kita bisa menerima teknologi. Teknologi kan hanya alat, tetapi bagaimana budaya kita itu betul-betul menjalankan alat itu supaya berujung pada kebaikan, berujung pada efektivitas, berujung pada efisiensi, ini yang harus dibangun kalau kita mau menerapkan (sistem elektronik) ini,” kata Anton.
Menurut Anton, generasi muda adalah kunci apabila KPU RI ingin membiasakan dan mensosialisasikan sistem elektronik kepada masyarakat.
Karena generasi muda adalah orang yang terbiasa memakai teknologi (native technology). Generasi muda itu bisa membantu orang-orang yang gagap teknologi di lingkungan keluarganya agar mampu menerima adanya sistem rekapitulasi elektronik bernama Situng tersebut.
Anton mengatakan BSSN sudah menyiapkan teknologi untuk pelaksanaan rekapitulasi suara secara elektronik, bahkan bisa dikembangkan apabila memang KPU RI ingin melakukan pemungutan suara secara elektronik.
Kuncinya terletak pada enkripsi, kata Anton, apabila data yang terenkripsi ada yang mengubah-ubah (untuk maksud manipulasi), maka dapat dipastikan nilai yang dia manipulasi hasilnya tidak akan cocok (match) ketika dimasukkan dalam database BSSN.
“Ini salah satu hal yang kami siapkan, juga BSSN sendiri sudah ada teknologinya ini. Mungkin nanti bisa kita kembangkan, kami terbuka saja kalau memang mau digunakan dan lain-lain dalam skala terbatas maupun skala nasional, teknologinya sudah tersedia,” kata Anton.
Anton menambahkan, secara teknologi BSSN tidak masalah apabila KPU RI mau mengadopsi teknologi tersebut. Namun ketika bicara Pemilu, tentu tidak hanya berbicara masalah teknologi saja. Namun juga ada masalah regulasi politik dan lain-lain.
Maka dari itu, BSSN memerlukan pembicaraan lebih lanjut dengan KPU RI terkait pengadopsian teknologi yang dimiliki BSSN itu untuk kepentingan Pemilu di Republik Indonesia.
Apalagi, Indonesia memiliki aset infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi yang memadai untuk mengkoneksikan internet secara nasional setelah dibangunnya Palapa Ring.
Anton mengharapkan ke depan, Indonesia memiliki regulasi terkait pemilu elektronik. Karena sebelum berbicara pemilu elektronik, terlebih dulu harus ada landasan yang kuat.
Selain itu, ia juga berharap database pemilih nasional bisa lebih dirapikan lagi karena itu juga salah satu prasyarat apabila KPU RI ingin menuju kepada pemilu elektronik.
“Ketika kami nanti menerbitkan kunci sandi, menerbitkan sertifikat elektronik, atau menerbitkan trial pada proses-proses itu memang database-nya harus valid,” kata Anton.
Anton berharap KPU RI bisa membangun budaya penggunaan teknologi dalam Pemilu secara aman di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tidak terjadi kebocoran-kebocoran data yang tidak seharusnya terjadi terkait Pemilu.
Ia mencontohkan seperti ketika video telekonferensi yang saat ini marak dilakukan. Banyak yang mengatakan tidak aman, padahal yang menyebabkan tidak aman itu adalah perilaku pengguna yang membocorkan data-data rahasia melalui aplikasi video telekonferensi tersebut.
Untuk itu, budaya dan perilaku berteknologi secara aman diharapkan Anton dapat terus disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia.
Antara
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin