Jakarta, Aktual.com – Pandemi COVID-19 membuat peta dan struktur perekonomian mengalami perubahan signifikan. Hampir semua sektor dan kategori dunia usaha terdampak.

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) termasuk mikro dan ultra mikro, swasta nasional, BUMN, BUMD, perusahaan multinasional dan juga para startup company terdampak. Hanya sedikit yang masih tetap bisa hidup normal.

Sebagian besar usaha bisnis sedang hidup tidak normal, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, yang kalau dibiarkan berlarut-larut akan banyak sekali yang terpuruk bahkan bangkrut. Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan.

PHK di Indonesia tidak lagi menjadi kecemasan masa depan, karena sudah menjadi kenyataan masa kini yang bisa menjadi PHK permanen bila banyak usaha bisnis yang bangkrut.

Kebangkrutan banyak usaha bisnis sepertinya tidak terhindarkan sehingga perlu juga dicari langkah ekstra untuk mencetak usaha bisnis baru.

Tidak perlu disesali bila ada banyak usaha bisnis yang gulung tikar selama ada tumbuh bisnis-bisnis baru yang bisa diharapkan memberi warna baru yang positif bagi perekonomian Indonesia pasca pandemi COVID-19.

Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan besar tersebut, Arrbey Research bekerja sama dengan berbagai pihak menggelar riset secara omni channel pada periode 1-25 Mei 2020.

Riset itu melanjutkan penelitian sebelumnya pada April 2020 dengan total responden lebih dari 500 orang dan 233 orang di antaranya khusus responden riset redesain perekonomian dan bisnis.

Responden berasal dari kalangan pimpinan dan karyawan perusahaan besar termasuk multinational company, BUMN, swasta nasional dan UKM serta pemerhati perekonomian.

Krisis ekonomi sebagai dampak pandemi korona ditandai oleh anjloknya omset penjualan dengan waktu lama. Sebanyak 61,1 persen responden menyebutkan terjadi penurunan penjualan lebih dari 40 persen.

Lebih dari dua pertiga responden memperkirakan perekonomian nasional baru akan kembali normal (back to normal) setelah enam bulan krisis atau setelah September 2020.

Ada 36,1 persen responden yang memprediksi ekonomi baru mulai normal kembali pada tahun 2021.

Dengan krisis perekonomian yang sangat berat dan perlu waktu lama untuk pulih, maka tidak mudah bagi pelaku usaha untuk bertahan. Tidak heran bila diprediksi akan terjadi banyak usaha bisnis yang gulung tikar.

Not just back to normal

Selalu ada hikmah di balik masalah bahkan bencana. Pandemi COVID-19 sudah dinyatakan sebagai bencana nasional non alam dengan besarnya biaya pemulihan di bidang kesehatan dan perekonomian.

Apakah yang terjadi setelah pemulihan? Apakah hanya sekedar kembali normal seperti masa lalu? Ataukah sekedar mencapai new normal yang tidak lebih baik dari masa lalu?

Agar perekonomian kembali normal, 72,5 persen responden berpendapat dibutuhkan redesain perekonomian dan bisnis dengan berbagai langkah. Pertama re-focusing sektor prioritas dan yang kedua adalah pendayagunaan teknologi.

Sektor prioritas perekonomian nasional di masa depan disarankan pada bidang: 1) Pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan (66,7 persen); 2) Industri pertanian/pangan (44,4 persen); serta 3) Perdagangan ritel dan perdagangan lainnya (42,6 persen).

Perubahan drastis perekonomian dunia sedang terjadi, dan kita perlu menyesuaikan diri kalau ingin tetap bertahan.

Negara-negara di dunia harus bikin “kapling-kapling baru” pilihan sektor perekonomian yang hendak ditekuni dan dikembangkan, dan bagi dunia usaha hal itu berarti penajaman fokus area bisnis yang akan dikembangkan di masa depan. Agar bisa survive, redesain perekonomian Indonesia khususnya di jangka pendek perlu mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Akselerasi

Indonesia dilimpahi sumber daya yang bisa diperbarui (renewable resources) berupa hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan juga kelautan.

Riset di saat pandemi menghasilkan saran, bahwa perlu dilakukannya redesain perekonomian dengan menempatkan renewable resources dan renewable resources based industry sebagai pilar utama.

Industrialisasi mendapatkan momentum terbaiknya di era pandemi korona, tentunya dengan ‘tidak memaksakan’ jenis industri yang selama ini kurang bisa dikembangkan di Indonesia.

Tidak ada salahnya membangun sektor telekomunikasi, industri pesawat terbang, industri otomotif, industri elektronika dan berbagai sektor perekonomian penting lainnya.

Namun merupakan “kesalahan besar” bila renewable resources based industry yang sektor hulunya sudah tersedia berlimpah sejak dahulu sampai kurang diperhatikan dan tidak diprioritaskan.

Kini saatnya renewable resource based industry dijadikan sebagai tumpuan utama pembangunan perekonomian dan pengembangan bisnis di Indonesia. Sebanyak 68,7 persen responden berpendapat bahwa industrialisasi produk pertanian dan perkebunan perlu diprioritaskan.

Kue lapis Surabaya yang banyak dirim oleh kerabat kita selama perayaan Idul Fitri dan ikan teri yang sering menjadi kawannya nasi bisa jadi contoh produk unggulan renewable resources based industry.

Penggunaan contoh ikan teri sebagai produk yang disukai banyak konsumen dan bisa diproduksi oleh segala level pelaku usaha merupakan simbolisasi bahwa perekonomian ke depan haruslah yang bersifat lebih inklusif.

Ikan teri tidak untuk dimakan begitu saja setelah diambil dari laut.

Dibutuhkan proses pengolahan dan pengkemasan yang membutuhkan asupan teknologi sehingga ikan teri tidak hanya digoreng atau dijadikan ‘tempelan’ rempeyek, tetapi bisa diolah menjadi nasi goreng ikan teri yang tersedia di hotel berbintang lima serta dipasarkan di pasar tradisional, peritel modern dan sampai diekspor ke luar negeri.

Ekonomi Ikan Teri

Terminologi “Ekonomi Ikan Teri” yang digunakan sebagai judul publikasi hasil riset redesain perekonomian pasca pandemi korona dimaksudkan untuk mengingatkan kita akan perlunya dilakukan industrialisasi secara serius dan mengikutsertakan lebih banyak pelaku usaha UKM dan generasi muda.

Langkah persiapan back to normal pascapandemi korona haruslah menyediakan ruang gerak besar bagi usaha bisnis yang bisa dikelola oleh banyak level pelaku usaha khususnya masyarakat bawah dalam rangka mengelola ketahanan perekonomian termasuk ketahanan pangan.

Pendayagunaan teknologi dan inovasi sangat diperlukan untuk menanam, memanen, mengolah, mengemas, menyimpan, memasarkan, mendistribusikan termasuk mengelola keuangan renewable resources based industry dan sektor hulunya.

Pengembangan startup

Selain itu, dibutuhkan pengembangan banyak startup company pada sektor-sektor unggulan tersebut agar terjadi akselerasi pendayagunaan teknologi dan merangsang terjadinya inovasi berkelanjutan.

Generasi muda Indonesia yang semakin sadar teknologi dan inovatif akan memacu kemajuan renewable resources based industry dan sektor hulunya.

Keikutsertaan generasi muda, UKM dan seluruh komponen masyarakat dan dunia usaha termasuk yang berskala besar dan bahkan multi national dalam pengembangan akan membuat redesign the economy and business menjadi pilar strategis kemajuan Indonesia di masa mendatang.

Dunia sedang bergerak makin intensif menuju digitalisasi, dan renewable resources based industry termasuk sektor hulunya perlu memanfaatkannya semaksimal mungkin supaya generasi muda Indonesia tidak ketinggalan di era digital.

Hanya saja Indonesia tidak perlu terlalu terbuai dan menghabiskan waktu berkutat pada ekonomi digital. Indonesia perlu mengembangkan comparative advantage di sektor renewable resources based industry maupun sektor hulunya dan mendayagunakan teknologi yang relevan untuk menjadikannya sebagai competitive advantage.

Dengan keberanian dan komitmen untuk mengembangkan renewable resources based industry dan sektor hulunya akan membuat perekonomian Indonesia segera “back to normal” yang lebih baik. Not just back to normal.

Ekonomi Berorientasi Ekspor

Sebanyak 85,1 persen responden berpendapat bahwa ekspor Indonesia punya harapan meningkat pascapandemi.

Lima produk andalan ekspor yang dianjurkan dikembangkan berdasarkan hasil survei yaitu: 1) Pertanian: termasuk produk perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan (68,7 persen); 2) Industri pengolahan pangan: termasuk produk minuman, bumbu olahan, snack (53,7 persen); 3) Industri pengolahan produk pertanian non pangan (43,3 persen); 4) Sandang: termasuk produk pakaian, fesyen, alas kaki, asesoris (35,8 persen); serta 5) Furnitur (22,4 persen).

Sampai hari ini ekspor Indonesia masih tergantung pada komoditi-komoditi yang membuat Indonesia tidak bisa “merdeka” karena ekspor yang sangat tergantung pada harga komoditi dasar dunia atau tergantung prinsipal pabrikan perusahaan multinasional yang menggunakan Indonesia sebagai salah satu lokasi produksinya.

Di masa mendatang, ekspor Indonesia haruslah yang “bisa digerakkan” karena pemilik usahanya merupakan orang Indonesia dan mengolah renewable resources. Dari riset didapat hasil bahwa di masa mendatang perlu ditingkatkan jumlah eksportir pemula UKM (73,1 persen) dan eksportir pemula anak muda (40,3 persen).

UKM dan startup lokomotif perekonomian

Sebagai bangsa yang besar, kita harus pecaya diri akan mampu melampaui krisis ekonomi yang sedang terjadi dengan meredesain perekonomian melalui pengutamaan renewable resources based industry yang tidak sekedar membuat perekonomian kembali normal tetapi juga mencapai tingkat kenormalan yang lebih tangguh.

Lalu siapa yang sepantasnya menjadi lokomotif pembangunan perekonomian Indonesia di masa depan?

Sudah saatnya kita menata ulang bangun perekonomian nasional dengan mengupayakan tercapainya keseimbangan bisnis yang mengikutsertakan pelaku usaha kecil dan generasi muda sebagai pemain utama perekonomian nasional yang mendayagunakan teknologi dalam rangka mencapai daya saing dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Saat ini adalah kesempatan emas mengutamakan UKM dan generasi muda agar bisa menjadi lokomotif perekonomian di masa depan. Kalau tidak sekarang, bisa jadi tidak ada lagi kesempatan yang lebih baik di masa mendatang.

Berdasarkan riset khusus Arrbey dan Tim UKM HIMPUNI (Perhimpunan Alumni Perguruan Tinggi Negeri Indonesia), saat ini merupakan momen yang tepat untuk memberi perhatian istimewa pada UKM KAMPUS yaitu bisnis baru yang didirikan oleh mahasiswa dan alumni perguruan tinggi serta UKM yang dibina kampus.

UKM KAMPUS mempunyai tingkat kesiapan berteknologi yang relatif lebih besar sehingga bisa menjadikan usaha bisnis mereka punya daya saing lebih besar dan berkelanjutan.

Dibutuhkan dukungan dari pemerintah, BUMN, pelaku usaha besar dan perguruan tinggi untuk menjadikan UKM Kampus bisa tumbuh lebih cepat dan diharapkan akan menjadi lokomotif perekonomian Indonesia di masa mendatang melalui terciptanya ribuan UKM Kampus berprestasi.

Dari survey didapat hasil menggembirakan bahwa alumni, dosen dan mahasiswa perguruan tinggi berpotensi mengembangkan ekspor yang tercermin dari hasil riset bahwa 25,8 persen respon responden yakin mereka bisa menjadi eksportir dan akan bertambah lagi sebanyak 29 persen dan 43,3 persen bila diberikan bantuan permodalan dan pelatihan.

Potensi menjadi eksportir masa depan Indonesia ini perlu diberi dorongan dan kesempatan sebesar-besarnya mengingat perlunya peningkatan ekspor Indonesia secara signifikan dan perlu dicetaknya generasi eksportir baru Indonesia.

*Handito Joewono
Chief Strategy Consultant ARRBEY

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin