Jakarta, Aktual.com – Merintis prestasi seni sejak usia lima tahun, Arista, panggilan karib Aristawidya Maheswari (15), kini berjuang sekuat tenaga demi lolos melanjutkan pendidikan ke bangku sekolah negeri.
Ketika dijumpai di kediamannya, Rumah Susun Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Kamis (2/7/2020) sore, perempuan berhijab itu sedang ditemani oleh kakek dan neneknya.
Tempat tinggal seukuran 8 x 4 meter persegi tampak tidak cukup lagi menampung karya seni grafiti hingga lukisan kanvas berbingkai yang menutup rapat seluruh celah dinding.
Mereka menceritakan beragam karya seni lukis yang menjadi hobi Arista sejak kecil. Salah satunya lukisan bertema “Permainan Tradisional Anak di Kota Metropolitan” yang pernah bertengger di Galeri Nasional pada Juli 2019.
“Tidak ada gadget sama sekali yang dimainkan anak-anak dalam lukisan ini,” kata Arista.
Dua lukisan lainnya bertajuk “Keluarga Ayam” dan “Penari Bali” laku dibeli Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Bowo Irianto seharga Rp10 juta pada 2017.
“Waktu itu lagi pameran. Niatnya cuma pengen ngasih buat kenang-kenangan. Tapi sama Pak Bowo malah dibeli,” katanya.
Di antara lukisan, terselip sejumlah pigura kaca membungkus foto Arista sedang berpose dengan tokoh nasional seperti Gubernur DKI Anies Baswedan, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, almarhumah Ani Yudhoyono, hingga almarhum BJ Habibie.
Rak kayu bertingkat lima sesak dengan piala hingga buku pengetahuan umum difungsikan sebagai sekat ruang tamu dengan dapur.
Koleksi piala tersebut di antaranya didapat Arista dari juara I lomba desain poster tingkat Jakarta Timur, juara I lomba melukis desain batik pada 2017, juara II lomba melukis Museum Kebangkitan Nasional, juara II lomba poster Bekraf Kementerian BUMN tingkat nasional, juara I Lomba Melukis Hari Air Sedunia Kementerian PUPR, hingga Lomba Melukis Perpustakaan Universitas Indonesia.
“Kalau penghargaan piala, plakat dan lain-lain, ada kali 700-an sejak Arista TK sampai SD. Hampir setiap akhir pekan dia ikutan lomba lukis dan menang,” kata Nenek Arista, Siwi Purwanti (60).
Laptop dari Anies
Obrolan kami sampai pada cerita perkenalan Arista dengan Anies Baswedan.
Pigura foto yang memuat Anies sedang menerima lukisan Arista di Balai Kota DKI Jakarta pada Februari 2019 terpajang di balik pintu masuk rumah.
“Waktu itu saya mau mengucapkan terima kasih ke Pak Anies, karena sudah ngasih laptop ke saya,” katanya.
Perempuan berkaca mata itu pernah bertugas sebagai Koordinator Divisi Kreatif pada Forum Anak Nasional. Tapi keterbatasan ekonomi membuat Arista sulit memiliki laptop untuk menunjang kinerja.
“Karena saya enggak punya uang beli laptop, terus kakak pembina di tempat saya mengajar anak-anak jalanan, menyarankan saya untuk mengirim surat ke Pak Anies,” ujarnya.
Rupanya sepucuk surat dibalas oleh orang nomor satu di DKI itu dengan satu unit komputer jinjing yang diterima Arista lewat pengurus Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Pulo Gadung.
Sepertinya Anies mengenal betul siapa sosok pengirim surat, sebab mantan Menteri Pendidikan itu pernah mewakili Presiden Joko Widodo menyerahkan penghargaan atas gelar Juara III Lomba Melukis Cipta Seni Pelajar Nasional yang diraih Arista pada 2015.
“Waktu 2015, Pak Anies juga yang ngasih penghargaan, pas masih menjabat Menteri Pendidikan,” katanya.
Gagal PPDB
Namun, suasana berubah, saat topik pembicaraan berubah kepada seputar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 di Ibu Kota.
Agaknya, ada nuansa jengkel pada Arista karena peraturan usia telah menjegal keinginannya bersekolah di SMAN 12 Jakarta yang berjarak sekitar 250 meter dari rusun.
“Kalau zonasi kan kita harusnya dilihat dari jarak rumah ke sekolah, tapi ini diambilnya malah umur. Aku sempat sebel, kok malah umur?,” kata Arista.
Jalur prestasi menjadi harapan besar untuk bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri. Ketiadaan SMA negeri di Kelurahan Jatinegara Kaum membuat peluang zonasi jadi tidak mungkin.
Buktinya, mendaftar ke SMAN 61, SMAN 36, SMAN 59, dan SMAN 53 Jakarta seluruhnya gagal karena jarak tempuh yang jauh.
Prestasi akademik dan nonakademik Arista tumbang di sistem daring ppdb.jakarta.go.id oleh pelajar yang usianya lebih tua.
Alternatif cara ditempuh peraih rata-rata nilai rapor 8,2 dari lima mata pelajaran dasar itu lewat jalur afirmasi Kartu Jakarta Pintar (KJP), hingga prestasi akademik, pun kandas di faktor usia.
Hingga empat hari menjelang tenggat penutupan PPDB 2020, Arista telah menginjak usia 15 tahun, delapan bulan, tiga hari.
“Yang paling banyak diterima justru peserta yang usianya 16 tahun, malah ada yang 19 tahun,” katanya.
Bakat melukis Arista seakan tidak ada arti, sebab sistem hanya menerima prestasi dalam kurun maksimal tiga tahun terakhir, kata Kakek Arista, Aris (60), menyampaikan alasan penolakan dari panitia PPDB.
Sejak lulus SD, cucu kesayangannya itu justru tidak aktif ikut lomba. Bergabung dalam berbagai komunitas sosial jadi minat lain Arista kala itu, seperti jadi pengajar di bidang seni lukis pada beberapa RPTRA di Jakarta.
“Itu pun banyak plakat dan penghargaan dari banyak instansi pemerintah, tapi kan yang diminta sistem ini harus dari perlombaan. Sedangkan Arista selama SMP sudah tidak ikut lomba karena jarang juga yang gelar,” katanya.
Sejak usia dua tahun, anak tunggal dari pasangan Triyo Nuryamin dan Armeisita Nugraha Riska itu berstatus yatim piatu setelah sang ayah meninggal dalam kecelakaan pada 2010.
Selang dua tahun kemudian, sang ibu pun tutup usia karena penyakit yang diderita. Itulah alasan mengapa Arista kini hidup bersama kakek dan neneknya yang merupakan pensiunan swasta.
Nasib itu justru melecut ambisi Arista untuk bisa bersekolah negeri sebab tidak mau terbebani biaya mahal bersekolah di swasta.
“Selama ini uang jajannya ya ini, dari hasil nabung jual lukisan sama mengajar seni lukis,” kata Aris.
Kisruh usia
Aturan soal penerimaan siswa berdasarkan kriteria usia tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB Tahun Pelajaran 2020/2021.
Salah satu poin dalam surat keputusan itu menyebutkan jika jumlah calon peserta didik baru yang mendaftar jalur prestasi dan zonasi melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia tertua ke usia termuda, urutan pilihan sekolah dan waktu mendaftar.
Calon siswa yang berusia lebih tua memang diprioritaskan karena sistem sekolah dirancang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu, anak-anak disarankan tidak terlalu muda untuk masuk sekolah.
Pelaksana tugas Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengatakan syarat usia merujuk dari PP 17/2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan Permendikbud 44/2019, dijelaskan bahwa persyaratan calon peserta didik baru kelas satu SD berusia tujuh tahun hingga 12 tahun, atau paling rendah enam tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan.
Untuk jenjang SMP, berusia paling tinggi 15 tahun pada 1 Juli tahun berjalan. Sedangkan untuk SMA/SMK berusia paling tinggi 21 tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan.
Karena merasa pantas bersekolah di negeri, Arista mengadukan persoalan itu kepada Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait.
Pekan lalu mereka menyambangi ruang kerja Komisi X DPR RI menyampaikan aspirasi kaitan PPDB.
“Kenapa sekarang ini mencari bangku sekolah negeri di Jakarta untuk Arista kok sulit ya. Kita sampai ke Komnas PA dan DPR,” kata Aris.
Sementara itu Arist Merdeka Sirait menyoroti kisruh PPDB DKI dan meminta aturan yang mensyaratkan usia sebagai syarat penerimaan itu dibatalkan.
“Karena ini hak anak atas pendidikan dan ini bukan belas kasihan, tidak ada aturan murid baru dengan batasan usia di undang undang internasional sekalipun,” kata Arist.
Polemik atas batasan usia agaknya perlunya segera dicarikan solusi agar cita-cita Arista menjadi seniman lukis besar tidak lantas terkubur hanya karena kendala sistem pendidikan yang membuat dia harus putus sekolah.
Antara