Aktual.com, Jakarta – Pandemi Covid-19 membuat sektor perekonomian melambat, sehingga pemerintah harus menggunakan instrumen fiskal untuk mendorong perekonomian terus berjalan. Hal ini juga membuat porsi belanja pemerintah jadi meningkat, sementara pendapatan melambat. Tak ayal jika defisit kian melebar.

Adapun jumlah defisit APBN 2020 diperkirakan mencapai Rp1.039,2 triliun atau sekitar 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk memenuhi kebutuhan defisit tersebut, pemerintah berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan nilai hingga Rp 900,4 triliun.

“Jadi bagaimana memenuhi kebutuhan di sisa semester II tahun 2020? pertama kita lihat telah terbitkan kurang lebih Rp 630 triliun, jadi sisa semester II masih harus Rp 900,4 triliun,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Luky Alfirman dalam video conference, Jumat (24/7) kemarin.

Dia mengatakan penerbitan SBN tersebut salah satunya dilakukan dengan skema private placement yang akan dibeli oleh Bank Indonesia (BI).

Untuk itu, pemerintah telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan BI. Dalam perjanjian ini disepakati bawah BI akan membantu pembiayaan BI yang disebut dengan burden sharing. Nantinya, BI akan menanggung bunga 100% untuk kebutuhan pembiayaan public goods yang tercatat sebesar Rp 397,6 triliun.

Penerbitan SBN yang langsung dibeli BI tersebut tidak akan dilakukan secara langsung tapi bertahap sesuai dengan kebutuhan pembiayaan pemerintah. Namun, ia tidak menyebutkan berapa nilai penerbitan untuk tahap awal ini.

“Khusus melalui private placement tidak melalui lelang biasa atau mekanisme market. Jadi, nanti mekanismenya adalah pemerintah ada kebutuhannya. Jadi Rp 397 triliun itu kan nggak sekaligus, sesuai dengan kebutuhan. Nanti BI akan membeli SBN sesuai kebutuhan,” kata dia.

Kemenkeu juga akan menerbitkan SBN ritel dengan nilai sebesar Rp 35 triliun hingga Rp 40 triliun.

Selain itu juga ada lembaga asing yang memberikan utang ke RI, antara lain dari Asian Development Bank (ADB), Badan Pembangunan Perancis (AFD), Bank Pembangunan Jerman (KfW), dan Japan International Cooperation Agency (JICA) serta World Bank (WB).

Kementerian Keuangan juga menarik utang melalui multilateral dan bilateral dengan total US$ 1,8 miliar per 31 Mei 2020.

“Semester I tahun ini kita sudah meraih (pinjaman luar negeri) US$ 1,8 miliar,” ujarnya.

Dari data DJPPR Kemenkeu, berikut rincian negara yang memberikan pinjaman ke Indonesia antara lain World Bank US$ 300 juta, ADB € 462 juta, KfW € 500 juta, AFD € 100 juta dan JICA ¥ 31.800 juta.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 tembus sebesar 404,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.868,15 triliun (kurs Rp  14.500).

Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dolar AS.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Onny Widjanarko mengatakan, ULN Indonesia tersebut tumbuh 4,8 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2020 sebesar 2,9 persen (yoy).

“Peningkatan utang dipengaruhi oleh transaksi penarikan neto ULN, baik ULN Pemerintah maupun swasta. Penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan ULN berdenominasi rupiah,” kata Onny dalam siaran pers, Jumat (17/7) lalu.

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi