Jakarta, Aktual.com – Ketua KPK Firli Bahuri dengan langkah cepat memasuki gedung Anti Corruption Learning Center (ACLC) pada Selasa, 25 Agustus 2020.
Ia bergegas untuk masuk ke auditorium Randi Yusuf untuk mengikuti sidang etik yang akan dilaksanakan secara tertutup.
“Dengan anggota Dewas (Dewan Pengawas) terkait dugaan pelanggaran kode etik. Saya tidak mau komentar biar nanti Dewas yang menilai,” kata Firli singkat.
Firli diadukan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman terkait dengan penggunaan helikopter mewah saat perjalanan dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan pada 20 Juni 2020.
Perjalanan dari Palembang menuju Baturaja tersebut menggunakan sarana helikopter milik perusahaan swasta dengan kode PK-JTO.
Pada sidang perdana itu, Firli pun dikonfrontir dengan pelapornya, Boyamin, di hadapan tiga orang pimpinan sidang etik yaitu tiga orang Dewan Pengawas KPK yakni Tumpak Hatorangan Panggabean (Ketua), Syamsuddin Haris dan Albertina Ho masing-masing sebagai anggota.
Dalam sidang yang berlangsung sekitar 1,5 jam tersebut, Boyamin mengaku menyampaikan ke Dewas KPK agar Firli Bahuri dapat diturunkan jabatannya dari Ketua KPK bila terbukti melakukan pelanggaran etik.
“Saya sampaikan juga jika nanti dugaan melanggar terbukti saya memohon Pak Firli cukup jadi wakil ketua, ketua diganti orang lain,” kata Boyamin di seusai ikut menjalani sidang etik.
Menurut Boyamin, dalam persidangan tersebut ia melengkapi data yang ia miliki soal laporannya.
Data yang ditambahkan Boyamin misalnya perjalan di mana, dari mana dan ke mana serta berapa lama. Ia juga mengaku mencari helikopter itu milik siapa karena helikopter tersebut pernah dipakai oleh petinggi negara dari Solo ke Semarang tahun 2015 dari sebuah perusahaan X.
Namun apakah perusahaan tersebut masih menggunakan helikopter tersebut, Boyamin tidak mengetahuinya dan menyerahkan kepada Dewas KPK untuk menyimpulkan.
Dalam sidang, menurut Boyamin, Firli hanya menanggapi data yang ia miliki.
Firli tidak membantah ia naik helikopter tersebut dan mengatakan sudah membayar penuh dengan uangnya sendiri. Namun Boyamin meyakini bahwa helikopter yang dinaiki Firli adalah helikopter mewah dengan melihat interior dan aerodinamika helikopter tersebut.
“Saya pribadi tahu saat itu (Firli) cuti, Sabtu sudah di sana (Palembang), tidak ada sesuatu yang dikejar, hari kerja kan hari senin. Memangnya hari Minggu-nya ada OTT? Kan tidak. Apa sudah tau ada OTT hari minggu? Dia juga tidak ikut rapat di Kemenkopolhukam karena cuti setengah hari dah pulang ke Palembang,” ungkap Boyamin.
Boyamin pun menyerahkan seluruh pertimbangan dan keputusan kepada Dewas KPK.
Sedangkan Firli setelah menjalani sidang juga tidak ingin menyampaikan rilis apapun karena mengaku sudah menyampaikan seluruhnya ke Dewas.
“Nah kan saya sudah sampaikan nanti biar Dewas yang sampaikan semuanya, ya mohon maaf ya saya tidak berikan keterangan di sini, semua tadi sudah saya sampaikan ke dewas,” kata Firli seusai pemeriksaan.
Pelaksanaan sidang etik tersebut mengacu pada Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 3 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Pedomen Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada Pasal 8 aturan tersebut diatur sidang dugaan pelanggaran etik digelar secara tertutup, sedangkan pembacaan putusan akan disampaikan secara terbuka. Para terperiksa juga akan diberikan kesempatan untuk didampingi dan menghadirkan bukti yang relevan di proses persidangan tersebut.
Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengaku sidang etik ini dilakukan setelah Dewas mendapatkan laporan dari kelompok kerja fungsional yang dibentuk Dewas.
Dari laporan itu Dewas memutuskan apakah ada cukup bukti dugaan pelanggaran kode etik kalau kami simpulkan ada dugaan pelanggaran etik atau tidak, bila ada dugaan maka akan dilangsungkan sidang etik namun bila tidak ada cukup bukti maka Dewas akan menutup perkara tersebut.
Sidang yang diselenggarakan tertutup itu karena masalah etik bukan soal benar atau salah.
“Sidang etik adalah masalah patut atau tidak patut, masalah pantas atau tidak pantas tapi dalam putusan akhirnya putusan itu akan dilaksanakan secara terbuka siapa saja bisa melihat tapi dalam proses persidangan secara tertutup. Percayalah kepada kami bahwa kami akan menyidangkan semaksimal mungkin, seobjektif mungkin dalam persidangan,” kata Anggota Dewas Albertina Ho.
Sidang etik sesungguhnya tidak hanya dilakukan terhadap Firli, tapi juga terhadap Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap. pada 24 Agustus 2020 dengan dugaan penyebaran informasi tidak benar dan diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku “Integritas” pada Pasal 4 ayat (1) huruf o Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor: 02 Tahun 2020.
Yudi Purnomo Harahap dianggap melanggar pasal tersebut karena memberitakan terkait pemberhentian Kompol Rossa Purbo Bekti pada 5 Februari 2020.
Dalam penjelasannya, Yudi menilai dirinya sebagai Ketua WP KPK yang wajib membela dan menyampaikan aspirasi pegawai sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga WP KPK, apalagi status Rossa Purbo Bekti adalah anggota WP KPK.
Apalagi menurut Yudi terjadi pelanggaran prosedur pemberhentian Rossa Purbo Bekti. Hal tersebut berpotensi mencederai independensi KPK sebagaimana diamanahkan dalam UU KPK.
Pihak lain yang disidang etik adalah Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal. Ia juga merupakan Plt Direktur Penyelidikan KPK sejak Agustus 2018 – Juli 2019.
Aprizal diperiksa pada Rabu (26/8) atas dugaan melaksanakan kegiatan tangkap tangan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanpa koordinasi. Ia disangkakan melanggar kode etik dan pedoman perilaku “Sinergi” pada Pasal 5 ayat (2) huruf a Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor: 02 Tahun 2020. Pelanggaran aturan kode etik yang disangkakan ke Aprizal terkait dengan pelaksanaan tugasnya yang sering disebut sebagai “OTT UNJ” yang sebenarnya bukan OTT KPK, melainkan proses awal pengumpulan bahan dan keterangan.
Saat peristiwa terjadi pada 20 Mei 2020 tim dari Direktorat Pengaduan Masyarakat berada dalam posisi melakukan pencarian informasi, pendalaman hingga verifikasi informasi yang diterima.
Pada saat yang sama Inspektorat Jenderal Kemendikbud juga sedang melakukan fungsi pengawasan internal mereka sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan meminta pendampingan KPK.
Namun kondisi berubah ketika ada instruksi agar sejumlah pejabat di Kemendikbud dan UNJ dibawa ke kantor KPK.
Pengalaman sidang etik
KPK sebelumnya juga pernah melakukan sidang etik, meski bukan dipimpin oleh Dewan Pengawas KPK melainkan oleh Komite Etik, misalnya pada periode kepemimpinan Agus Rahardjo dkk (2015-2019).
Pada 3 Agustus 2016, Komisi Etik KPK menjatuhkan sanksi ke Wakil Ketua KPK Saut Situmorang karena dinilai terbukti melanggar pelanggaran sedang yakni soal pernyataan Saut yang menyinggung Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat menjadi pembicara di salah satu televisi swasta pada 5 Mei 2016.
“Lihat saja tokoh-tokoh politik, itu orang-orang pintar semuanya, cerdas. Saya selalu bilang kalau dia HMI minimal dia ikut LK1, saat mahasiswa itu pintar, tapi begitu menjabat dia jadi curang, jahat, greedy,” kata Saut pada acara tersebut.
Komite Etik menilai, Saut terbukti melanggar peraturan KPK Nomor 7 tahun 2013 tanggal 30 September 2013. Dari hasil pemeriksaan, Komite Etik menjatuhi hukuman berupa sanksi tertulis, yakni agar Saut dapat memperbaiki sikap dan tindakan serta perilakunya.
Saut pun diminta agar bersikap lebih hati-hati dalam menjalin hubungan dengan kelompok yang dapat mengganggu kemandirian dan independensi KPK dan patuh pada peraturan KPK tentang pengambilan keputusan kolektif kolegial.
Komite Etik tersebut terdiri dari 7 orang dengan Buya Syafi’i Maarif sebagai ketuanya dibantu 6 orang yaitu Imam Prasodjo, Nathalia Subagyo, Erry Riyana, Frans Magnis Suseno, serta 2 perwakilan dari KPK yaitu Agus Rahardjo dan Alexander Marwata.
Sedangkan pada kepemimpinan Abraham Samad (2011-2014) juga dilakukan sidang etik terhadap Ketua KPK saat itu Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja pada Februari-April 2013.
Komite Etik terdiri atas Anies Baswedan (rektor Universitas Paramadina) sebagai ketua, Tumpak Hatorangan Panggabean (mantan pimpinan KPK) yang menjabat sebagai wakil ketua merangkap anggota, Abdul Mukhtie Fajar (mantan wakil ketua Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi), Bambang Widjojanto (pimpinan KPK) dan Abdullah Hehamahua (penasihat KPK) sebagai anggota.
Abraham Samad disebut melakukan pelanggaran sedang terhadap pasal 4 huruf b dan d pasal 6 ayat 1 huruf b, d, r, dan v kode etik pimpinan KPK, menjatuhkan sanksi berupa peringatan tertulis yaitu Abraham Samad harus memperbaiki sikap, tindakan dan perilakunya.
Komite Etik menyatakan bahwa Abraham tidak terbukti secara langsung membocorkan dokumen surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum tapi perbuatan dan sikapnya tidak sesuai dengan kode etik pimpinan KPK.
Pelaku pembocoran adalah Wiwin Suwandi yang tugasnya adalah sekretaris Abraham Samad. Dokumen tersebut ditandatangani Abraham Samad dan belum diberi nomor dan cap KPK.
“Tapi Wiwin mengabarkan banyak orang, ini masalahnya, orang yang tidak punya banyak pengalaman malah mengabarkan ke banyak orang, motif yang diakui Wiwin adalah benci dengan koruptor karena menunjukkan wajah tanpa dosa,” demikian disampaikan oleh Anies Baswedan yang saat itu menjadi Ketua Komite Etik KPK.
Abraham Samad juga dinilai sering melakukan komunikasi dan pertemuan dengan pihak-pihak eksternal KPK yang berkaitan dengan informasi kasus-kasus di KPK, termasuk terkait status Anas Urbaningrum sebagai tersangka, dengan tanpa memberitahukan kepada Pimpinan KPK lainnya.
Sementara Adnan Pandu Praja melakukan pelanggaran ringan pasal 6 ayat 1 huruf e kode etik pimpinan KPK oleh karenanya dijatuhkan sanksi peringatan lisan.
Kekeliruan yang dilakukan Adnan adalah menyampaikan informasi pencabutan tanda tangan dalam sprindik beserta alasannya kepada pers, serta menyampaikan pendapat secara terbuka kepada media massa bahwa kasus mobil Harrier milik Anas yang nilainya kurang dari Rp1 miliar adalah bukan level KPK menunjukkan tindakan yang kurang hati-hati dan kurang cermat sebagai Pimpinan KPK dan merugikan nama baik KPK.
KPK pun pernah membentuk Komite Etik pada masa pimpinan 2007-2011 terkait kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah, Busyro Muqoddas, Haryono Umar dan M Jasin terkait dugaan pernah menerima uang sehingga merekayasa kasus dengan tersangka Muhammad Nazaruddin.
Nazaruddin saat itu menuding Wakil Ketua KPK, Chandra M Hamzah dan M Jasin, serta mantan Deputi Penindakan KPK, Ade Raharja, terlibat suap dan rekayasa kasus. Belakangan Nazaruddin juga menyebut nama juru bicara KPK, Johan Budi SP, yang memang mengaku pernah menemani Ade Raharja dalam pertemuan dengan Nazaruddin.
Maka pada 4 Oktober 2011, Komite Etik KPK yang diketuai Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan empat pimpinan KPK tersebut tidak melanggar kode etik atau pidana.
Dari tujuh anggota komite, tiga mempunyai pendapat berbeda terbatas pada adanya pelanggaran ringan yang dilakukan Chandra. Pada dasarnya, menurut yang memiliki pendapat berbeda, sebagai pimpinan KPK, sepatutnya Chandra lebih berhati-hati.
Terkait Haryono Umar juga tidak ditemukan adanya indikasi perbuatan pelanggaran hukum pidana, maupun atas kode etik pimpinan KPK. Namun dari tujuh anggota, ada tiga pendapat berbeda, yakni merasa bahwa tetap ada pelanggaran ringan yang dilakukan mengingat Haryono sebagai pimpinan KPK sepatutnya lebih memahami dan lebih berhati-hati berperilaku.
Terhadap Busyro Muqoddas, diputus bebas dan suara anggota Komite Etik bulat dengan alasan tidak ditemukan adanya pelanggaran kode etik pegawai KPK.
Selanjutnya M Jasin pun diputus bebas dan suara anggota Komite Etik bulat dengan alasan tidak ditemukan adanya pelanggaran kode etik pegawai KPK.
Sementara untuk Deputi Penindakan KPK saat itu Ade Raharja, Komite Etik dianggap telah melakukan kesalahan pelanggaran ringan atas kode etik pegawai KPK. Putusan diambil dengan dua perbedaan pendapat.
Sedangkan Sekretaris Jenderal KPK saat itu Bambang Sapto, telah terjadi pelanggaran kode etik pegawai, tiga mempunyai pendapat berbeda, tiga anggota berpendapat apa yang terjadi dalam perilaku Bambang masih dapat ditolerir.
Selanjutnya Juru bicara KPK kala itu Johan Budi berdasar fakta terkumpul di dalam wawancara dan sepanjang pengetahuan, diputuskan Johan Budi bebas dengan suara bulat karena tidak melakukan hukum pidana maupun pelanggaran kode etik.
Terakhir penyidik KPK Ronny Samtama, berdasar fakta-fakta komite, dinyatakan tak melakukan pelanggaran atas kode etik pegawai. Putusan diambil dengan suara bulat.
Patut dan tak patut
Sidang etik memang bukan soal benar dan salah berdasarkan hukum tertulis tapi mengenai patut dan tidak patut.
Pendiri Kompas PK Ojong dalam tulisannya pada 27 September 1966 mencontohkan soal kepatutan beberapa kepala negara atau pemerintahan terkait harta kekayaannya.
Pemimpin Taiwan Sun yat-Sen disebut harta satu-satunya yang ditinggalkannya adalah buku-buku perpustakannya, pemimpin India Nehru juga mati tanpa meninggalkan harta benda yang menyolok mata.
Mantan Presiden Prancis Jenderal de Gaulle kekuasaannya sangat besar, namun satu hal yang tak dapat disangsikan adalah ia tidak boros, tidak korup dan tidak menganjurkan bawahannya untuk berbuat korupsi. Saat ia mati, ia tak meninggalkan kekayaan besar, harta satu-satunya adalah royalti buku-bukunya.
Presiden ke-32 Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt saat meninggal dunia pada April 1945 meninggalkan warisan senilai 1.085.486 dolar AS, namun dari warisan itu, sebesar 920.115 dolar AS berasal dari peninggalan ibunya, artinya ia hanya menambahkan warisan senilai sekitar 165.000 dolar AS saja meski menjabat selama 12 tahun sebagai Presiden AS dan sebelumnya menjadi Gubernur New York.
Etik soal patut atau tidak patut seorang pejabat publik menampilkan kemewahan dan tindakan yang pantas (atau tidak pantas) di hadapan publik harus diusut dan diselesaikan hingga tuntas agar menjadi praktik baik bagi penerusnya.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin