Kupang, Aktual.com – Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmad Atang mengatakan, rencana Amien Rais mendirikan partai baru dengan mengusung asas Islam, karena ingin mencoba memungut kaum santri perkotaan sebagai basis dukungan.

“Dengan mengusung asas Islam, Amin Rais ingin partai barunya tampil beda dengan PAN yang nasionalis moderat. Amien Rais mencoba memungut kaum santri perkotaan sebagai basis dukungan, padahal selama ini kaum santri selalu identik dengan PKS,” kata Ahmad Atang kepada wartawan di Kupang, Sabtu (12/9).

Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan rencana Amien Rais mendirikan partai baru berasaskan Islam dan peluang untuk berkembang.

Setelah kekalahan figur yang didukung Amien Rais melawan Zulkifli Hasan pada kongres PAN di Kendari, dan Amien Rais tidak masuk dalam pengurusan PAN yang baru.

Hal ini membuat Amien Rais kehilangan panggung politik di PAN yang selama ini dibesarkannya. Pilihan yang paling prospektif bagi Amin Rais untuk tetap “hidup” adalah dengan mendirikan partai baru.

Menurut dia, dengan mengusung asas Islam, Amien Rais ingin partai barunya tampil beda dengan PAN yang nasionalis moderat.

Islam abangan

Fakta perpolitikan kita selalu didominasi oleh Islam abangan, sehingga kesuksesan Megawati mendirikan PDIP, Prabowo mendirikan Gerindra, Surya Paloh mendirikan Nasdem dan Wiranto mendirikan partai Hanura tidak bisa menjadi patokan.

Peta politik Islam selalu menampilkan wajah politik belah bambu sehingga sejarah partai Islam tidak selalu berumur panjang. Hal ini karena klaim politik identitas berbasis agama hanya sebuah utopis belaka.

“Dan Amien Rais dalam pandangan saya bukan lahir dari basis Islam santri namun dari Islam modernis,” katanya.

Karena itu menjadi tantangan bagi partai barunya jika menggunakan asas Islam. Bisa diduga bahwa partai yang didirikan oleh Amien Rais hanya sekadar mencari bentuk. Ketika Amin Rais tidak menemukan bentuk maka partainya akan mati dengan sendiri tanpa harus dimatikan.

“Dalam politik selalu berlaku teori darwinisme, yakni seleksi alam (natural seleksi),” kata pengajar ilmu komunikasi politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin