Jakarta, Aktual.co — Penerapan e-budgeting harus disepakati bersama antara kepala daerah dengan DPRD.
“Perda dibangun antara eksekutif dan legislatif, salah satunya terkait e-budgeting,” kata pengamat politik Idil Akbar, Jumat (13/3).
Jika tak ada persetujuan dengan DPRD, hal ini harus dicermati. Pasalnya, e-budgeting konsepnya bukan dalam konteks dari hulu ke hilir.
“Kalau soal perencanaan anggaran tetap, dilakukan melalui politik anggaran. E-budgeting sendiri hanya pada persoalan evaluasi dan implementasi, bukan soal langsung e-budgeting. Artinya, tetap melibatkan DPRD,” katanya.
Dirinya mempertanyakan, bagaimana anggaran dibuat kalau tak melibatkan DPRD. E-budgeting hanya implementasi dan evaluasi, artinya dalam pengajuan anggaran sudah ada persetujuan dengan DPRD tentang besaran anggaran, barulah masuk sistem e-budgeting.
Sebeluimnya, Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengaku heran, pembuatan program yang menangani puluhan triliun anggaran APBD DKI hanya dikerjakan dengan sistem perorangan atau pribadi saja.
Menurut dia, harusnya konsultan dipakai berdasarkan sebuah perusahaan, sehingga memiliki payung hukum yang jelas.
“Sangat aneh dan janggal ada konsultan e-budgeting diperjakan dengan sistem pribadi bukan atas nama sebuah perusahaan,” kata dia, saat dihubungi Aktual.co, Rabu (11/3).
Kalau dalam nomenklatur peraturan daerah atau peraturan Gubernur, yang namanya belanja jasa konsultan adalah bagian dari program e-budgeting yang harus dikerjakan sebuah perusahaan melalui proses lelang.
“Artinya, konsultan ini pekerja dari perusahaan pemenang tender. Kalau konsultan ini tidak masuk dalam bagian perusahaan, berarti konsultan itu pribadi atau berasal dari PNS dong harusnya,” ujar dia.
Karena itu, Uchok menilai langkah Pemprov DKI menggunakan jasa konsultan e-budgeting dengan cara seperti ini sangat mencurigakan, dan kasusnya harus ditelusuri lebih dalam.
Artikel ini ditulis oleh:

















