Jakarta, Aktual.com – Kementerian Keuangan mengungkapkan total piutang negara di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2019 mencapai Rp358,5 triliun terdiri dari piutang lancar dan jangka panjang yang salah satunya timbul dari kegiatan operasional kementerian/lembaga.

“Piutang negara itu terbagi dua besarannya ada piutang pajak dan piutang bukan pajak, ada juga piutang lainnya,” kata Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain Kementerian Keuangan Lukman Effendi dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat (2/10).

Ia merinci jumlah bruto piutang lancar mencapai Rp297,9 triliun dan jumlah bruto piutang jangka panjang mencapai Rp60,6 triliun.

Dari jumlah itu, masing-masing memiliki piutang tidak tertagih yang disisihkan masing-masing mencapai Rp187,3 triliun untuk piutang lancar dan Rp3,7 triliun untuk piutang jangka panjang. Sehingga, setelah dikurangi penyisihan piutang tidak tertagih itu jumlah bersih piutang negara mencapai Rp167,5 triliun.

Lukman menambahkan jumlah piutang paling besar adalah piutang pajak yang ketentuannya mengacu kepada UU Perpajakan serta piutang bukan pajak yang timbul dari kegiatan operasional kementerian/lembaga.

Kegiatan operasional itu, kata dia, meliputi beragam piutang di antaranya berupa royalti, iuran kontrak karya, izin pertambangan, piutang untuk pendapatan penggunaan kawasan hutan hingga biaya hak penyelenggaraan untuk telekomunikasi.

Piutang lancar merupakan piutang yang diharapkan atau dijadwalkan akan diterima dalam jangka waktu kurang dari 12 bulan setelah tanggal pelaporan.

Sedangkan piutang jangka panjang merupakan piutang yang diharapkan atau dijadwalkan akan diterima dalam jangka waktu lebih dari 12 bulan setelah tanggal pelaporan.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata mengatakan pihaknya tetap mengusahakan menagih piutang tersebut meski kenyataannya di lapangan terbilang sulit ditagih, sehingga dibentuk penyisihan piutang tidak tertagih.

Menurut dia, penyisihan piutang tidak tertagih itu merupakan mekanisme kebijakan akuntansi mengingat utang tidak dibayar bahkan dalam jangka waktu yang lama oleh pihak yang berkewajiban, sehingga secara nilai harus dikurangi.

“Sekali lagi itu adalah kebijakan akuntansi supaya kami lebih realistis, tidak menganggap punya aset Rp297 triliun tapi kita harus diskon nilainya karena fakta kita selama ini belum berhasil mendapatkan secara utuh pembayaran dari mereka,” katanya.

Adapun ketentuan besaran penyisihan piutang tidak tertagih itu diatur dalam pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 tahun 2014 berdasarkan kualitas pembayaran yakni lancar, kurang lancar, diragukan hingga macet. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin