Jakarta, Aktual.co — Sejumlah seniman Yogyakarta akan menggarap pameran dengan tajuk “Made in Commons” berupa kolaborasi project seni untuk mewacanakan kembali konsep kebersamaan di Jogja Nasional Mesum pada tanggal 14-25 Maret 2015.
Kurator pameran, Syafiatudina saat jumpa pers di Yogyakarta, Jumat, mengatakan pameran “Made in Commons” bertujuan mengekspresikan kembali makna kebersamaan melalui media seni yang digarap secara kolaboratif.
“Betapa sekarang kita sudah terkotak-kotak baik secara etnis, peran, gaji. Mengapa kita tidak bisa menembus belenggu itu?” kata dia.
Menurut dia, selain menggandeng seniman lokal maupun internasional, pameran itu juga mengikutsertakan sejumlah komunitas, peneliti, serta aktivis.
Dalam pameran yang sebelumnya pernah disajikan di Stedelijk Museum Bureau Amsterdam (SMBA) pada 2013 itu, Dina mengatakan, masing-masing peserta akan menampilkan karya berupa pertunjukan, aksi, intervensi, serta instalasi sebagai pendekatan makna kebersamaan.
“Bentuk seninya akan berbeda dengan format tradisional sperti lukis, patung atau objek lain yang mudah dipertukarkan,” kata dia.
Seperti yang ditampilkan oleh Ketjil Bergerak, salah satu komunitas anak muda di Yogyakarta, dalam pameran itu mereka justru akan menyajikan workshop pembuatan grafiti, serta sablon t-shirt.
Manajer Ketjil Bergerak, Vina mengatakan pembutan grafiti serta sablon T-shirt merupakan salah satu kegiatan kelompok itu, yang selalu dikerjakan secara bersama.
“Karya grafiti merupakan ekspresi anak muda yang digarap secara bersama-sama. Tidak ada individualisme di sana,” kata dia.
Berbeda dengan yang ditampilkan oleh Setu Legi dari komunitas Ledok Timoho. Di salah satu ruang pameran, dia menjajarkan belasan bendera yang masing-masing dibuat oleh anak-anak yang tinggal di Kampung Ledok Timoho, suatu kampung di pinggiran Sungai Gajah Wong, Yogyakarta.
Menurut Setu, bendera-bendera itu mewakili identitas anak-anak di kampung itu yang dihuni oleh masyarakat pendatang.
“Kami ingin menunjukkan bagaimana masyarakat urban yang berasal dari daerah yang berbeda-beda dapat ‘survive’ dan menyatu di kampung itu,” kata dia.
Selain menampilkan berbagai karya, kegiatan itu juga akan dilengkapi dengan dialog bertajuk “Conversations across Commons” yang akan mendatangkan pembicara dari dalam maupun luar negeri pada 16 -18 Maret 2015.
Artikel ini ditulis oleh:

















