Jakarta, Aktual.com – Ketika seseorang hendak membeli properti, agaknya saat ini bukan sekedar soal harga saja, tetapi banyak kriteria yang harus dipertimbangkan.

Salah satunya adalah menyangkut biaya-biaya dalam jangka panjang apabila nanti jadi ditempati.

Salah satu yang menjadi pertimbangan dan kerap menjadi persoalan dalam jangka panjang adalah energi.

Hunian, ada yang hemat dalam pemakaian listrik, namun ada juga yang biaya tagihan bisa melonjak di atas normal.

Banyak faktor yang membuat tarif listrik dapat ditekan, sebagai contoh pencahayaan yang memadai, sirkulasi udara yang cukup, serta pemanfaatan energi alternatif.

Soal pencahayaan yang memadai dan sirkulasi udara dapat diatasi dengan merenovasi bangunan.

Namun untuk energi alternatif memang masih menjadi pekerjaan rumah mengingat mayoritas pembangkit listrik masih menggunakan bahan bakar fosil.

Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan bisa menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen pada 2030 sebagai upaya mengurangi dampak perubahan iklim.

Perubahan iklim kini bukan lagi fiksi. Dampaknya sudah dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Atas isu tersebut, Pemerintah Indonesia berencana menurunkan gas rumah kaca sebanyak 26 persen pada 2020 dan meningkat hingga 29 persen di 2030.

Berdasarkan Konvensi Perubahan Iklim yang telah diratifikasi, target untuk emisi karbon yang harus diturunkan di sektor energi sebesar 11 persen.

Demi mendukung target penurunan emisi karbon Indonesia ini, diperlukan koordinasi dari seluruh pihak yang sumber pendanaannya bisa didapat dari APBN, dana hibah/pinjaman luar negeri, ataupun sektor swasta.

Salah satu upaya mendorong target penurunan emisi di sektor energi dapat dilakukan melalui peningkatan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).

Salah satu yang kini tengah dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Atap panel
Kalau selama ini kita mengenal atap dari beton atau genteng, namun seiring dengan kepedulian masyarakat terhadap pemanfaatan energi alternatif. Kini sudah banyak masyarakat yang beralih menggunakan panel surya di atap bangunan.

Hal serupa juga dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang terus mendorong dan menyosialisasikan kepada warganya mengenai pemanfaatan energi alternatif yang selain lebih ramah lingkungan juga dapat menghemat penggunaan listrik.

Kepala Bidang Energi ESDM Provinsi Jawa Barat, Slamet Mulyanto beralasan mengapa energi alternatif dimulai dari Provinsi Jawa Barat disebabkan secara nasional populasi terbesar tentunya akan berbanding lurus dengan penggunaan energi bagi penduduknya.

Guna meminimalkan dampak lingkungan dari sumber energi fosil yang dihasilkan oleh aktivitas masyarakat di Jawa Barat, pemerintah setempat telah memiliki Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang menargetkan 20 persen penggunaan sumber energi baru dan terbarukan pada 2025.

Sedangkan untuk energi surya sesuai dengan RUED tersebut diperkirakan bisa sebesar 9 gigawatt (GW).

Salah satunya, Fonterra Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang industri pangan merupakan salah satu yang mulai memanfaatkan energi alternatif dalam hal ini pembangkit listrik tenaga surya.

Perusahaan ini memanfaatkan energi surya untuk mendukung proses produksi yakni dengan menempatkannya di atap pabrik yang berlokasi di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Mohammad Aslam, Plant Manager Fonterra Indonesia mengatakan PLTS atap yang dipasang di pabriknya tersebut berkapasitas 381,84 kilowatt-peak (kWp) di area seluas 3.350 meter persegi (85 persen dari luas atap).

Menurut Aslam, berdasarkan perhitungan pada bulan pertama, pabrik Cikarang dapat menghemat sampai dengan 30 persen. Estimasinya PLTS ini dalam setahun mampu memproduksi sebesar 478.500 kWh.

Aslam juga menyampaikan pemasangan PLTS atap ini tidak membutuhkan waktu lama, bahkan lebih cepat dari estimasi semula. Padahal, pekerjaan dilaksanakan pada masa pandemi COVID-19.

Permintaan naik
Kesadaran masyarakat untuk beralih tidak lagi bergantung kepada energi fosil terlihat dari tingginya permintaan pemasangan panel surya.

Salah satunya SUN Energy perusahaan pemasok panel surya yang telah bermitra dengan sejumlah instansi swasta dan pemerintah.

Direktur Utama SUN Energy Roy Wijaya menyampaikan apresiasinya terhadap sejumlah mitra yang mulai memanfaatkan sumber energi bersih sebagai usaha untuk mengurangi emisi karbon dari aktivitas operasional.

Roy mengatakan pada 2020, perusahaan mencatat kenaikan permintaan instalasi sistem tenaga surya sebesar hampir 40 persen dibanding tahun sebelumnya.

Permintaan ini meliputi pembangkit untuk menghemat penggunaan listrik PLN (on-grid), pembangkit mandiri (off-grid) dan kombinasi (hybrid) dari seluruh wilayah Indonesia.

Menurut Roy, sebagian besar permintaan berasal dari lembaga pemerintah, industri dan lembaga pendidikan tinggi.

Sedangkan menurut Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Andhika Prastawa capaian pemerintah pusat maupun daerah atas penggunaan EBT sebenarnya masih jauh dari target tahun 2020, sebesar 23 persen.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, PLTS dibanding pembangkit EBT yang lain merupakan teknologi dan sistem yang paling cepat, mudah diaplikasikan, serta realistis dipasang di berbagai lokasi.

Hal ini, jelas Andhika, terjadi peningkatan jumlah yang signifikan dalam pemasangan PLTS atap, terutama untuk sektor komersial dan industri.

Pada 2017 hanya ada sekitar 600-700 bangunan, sekarang sudah berkembang menjadi 1.300. Kementerian ESDM menargetkan 200 MW PLTS terpasang, realisasinya tercatat tidak lebih dari 10 MW untuk daerah Jawa yang tersebar di 1.700 lokasi pada 2020.

Kolaborasi dari berbagai industri dengan sektor swasta dalam meningkatkan pengguna PLTS atap adalah kontribusi nyata untuk mendukung program Gerakan Nasional Surya Sejuta Atap dan program pemulihan lingkungan pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Realisasi ini membutuhkan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, daerah, asosiasi, dan masyarakat untuk mendorong penggunaan PLTS sehingga tercipta energi yang bersih dan ramah lingkungan.

AESI melalui Gerakan Nasional Surya Sejuta Atap (GNSSA) yang didukung oleh Kementerian ESDM, Kementrian Perindustrian, BPPT, dan berbagai asosiasi, terus berupaya mendorong pemerintah untuk menerbitkan berbagai regulasi sehingga penggunaan tenaga surya semakin meningkat. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin