Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dan DPR masih terus menggodok rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. DPR pun mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk Badan Pengawas terkait dengan Perpers tersebut.

Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Tristam Pascal Moeliono mengatakan, definisi terorisme dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang terorisme tidak memenuhi asas legalitas, yaitu asas lex certa (rumusan yang jelas).

“Perpres itu tidak memenuhi asas legalitas atau rumusan yang jelas, sehingga distribusi kewenangan dari Presiden kepada TNI melalui rancangan perpres ini cukup berisiko. Threshold (ambang batas) pendekatan hukum berubah menjadi pendekatan militer juga tidak jelas diatur dalam rancangan perpers ini,” kata Tristam, Sabtu (28/11).

Llalu, terkait penindakan, dari kacamata militer tentu berbeda rumusannya dengan menindak dari kacamata penegakan hukum, rancangan perpers ini seharusnya memperjelas hal tersebut.

“Lebih jauh, persoalan akuntabilitas dan transparansi adalah hal yang perlu perlu dijawab melalui Ranperpes ini. Terorisme yang berkembang terus menerus tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan TNI dan hukum pidana saja, melainkan perlu pendekatan lain. Raperpres ini diberikan beban terlalu berat seolah bisa menyelesaikan semua masalah terorisme,” ketus Tristam.

Ditempat yang sama, Dosen hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti menilai rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme itu sudah salah dan keliru dalam mengaturnya terkait ancaman Hak Asasi Manusia (HAM).

“Perpers ini sudah salah dan keliru dari cara mengaturnya, sehingga catatan-catatan terkait ancaman terhadap HAM dan militerisme menjadi penting untuk diperhatikan. Kekhawatiran masyarakat tidaklah berlebihan, karena belakangan memang diskursus kembalinya militer menangani peran otoritas sipil semakin menguat,” kata Bivitri.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid