Bangkok, Aktual.com – Pemerintah Thailand pada Ahad, mempertahankan keputusannya untuk tidak bergabung dengan program COVAX, fasilitas penyediaan vaksin COVID-19 secara global yang didukung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Bangkok menyebut bahwa ikut serta dalam fasilitas itu akan berisiko bagi negara membayar lebih untuk vaksin dan menghadapi ketidakpastian mengenai waktu pengiriman. Politisi oposisi mengkritik pemerintah atas kurangnya transparansi dan kelambanan pengadaan vaksin.
Secara total, 190 negara telah bergabung dalam COVAX, sebuah program yang bertujuan untuk menjamin akses yang adil atas vaksin selama pandemi. Skema pengadaan tersebut dijalankan bersama oleh WHO, aliansi vaksin GAVI, Koalisi Inovasi Kesiapan Epidemi (CEPI), serta UNICEF.
Juru Bicara Pemerintah, Anucha Buraphachaisri, merespons laporan media yang menyebut Thailand menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak bergabung dalam skema COVAX, menyebut bahwa Thailand, sebagai negara berpendapatan menengah, tidak berhak mendapat vaksin murah atau gratis di bawah program tersebut.
“Membeli vaksin secara langsung dari para produsen merupakan pilihan yang tepat mengingat bahwa hal itu lebih fleksibel,” kata Anucha.
“Jika Thailand ingin bergabung dalam program COVAX, maka harus membayar vaksin sendiri dengan biaya yang tinggi dan juga terdapat sebuah risiko,” kata dia.
Anucha menambahkan bahwa Thailand telah melakukan pembayaran di awal tanpa mengetahui sumber vaksin dan waktu pengiriman. Namun ia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai angkanya.
Walaupun negara berpenduduk 66 juta jiwa itu mencatat angka infeksi dan kematian rendah, masih ada ancaman infeksi COVID-19 gelombang kedua.
Petugas kesehatan di garda depan akan segera mendapat suntikan vaksin Sinovac dari China dalam sebulan mendatang–usai negara mengimpor dua juta dosis, namun vaksinasi massal untuk masyarakat umum baru akan dimulai saat dosis vaksin AstraZeneca produksi lokal tersedia pada Juni.
Sejauh ini, Thailand belum menerima ataupun memproduksi vaksin, bahkan ketika negara-negara tetangga telah memulai program vaksinasi nasional.
Negara itu mencatat 166 kasus COVID-19 baru pada Ahad (14/2), sehingga jumlahnya kini sebanyak 24.571 kasus dengan 80 kasus kematian.
Sumber: Reuters
Artikel ini ditulis oleh:
Warto'i