Jakarta, Aktual.com – Nisfu Sya’ban merupakan istilah dimana bulan Sya’ban berada dipertengahan, atau lebih tepatnya berada ditanggal 15. Adapun malam nishfu Sya’ban adalah sebutan untuk malam ke-15 pada bulan tersebut.

Sebagian ulama berpendapat bahwa malam nisfu Sya’ban memiliki kemuliaan dan keutamaan yang agung. Hal ini dilihat dari banyaknya istilah atau penamaan yang melekat pada malam tersebut. Seperti dalam “Tuhfatul Ikhwan fi Qira’atil Mi’ad fi Rajab wa Sya’ban wa Ramadhan” Imam Syihabuddin Ahmad bin Hijazi al-Fasyni as-Syafi’i rahimahullah mengistilahkan malam tersebut dengan “Malam Pembebasan”, “Malam Berdoa”, “Malam Pengijabahan”, “Malam Pengampunan dan Pembebasan dari Api Neraka”, dan lain-lain. Begitu juga Al-Allamah Sayyid Syekh Muhammad bin Alawi al-Maliki rahimahullah pun menuturkannya dalam karya beliau “Madza fi Sya’ban” .

Istilah malam pengijabahan atau pengabulan doa juga selaras dengan apa yang dikemukakan Imam as-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya “al-Umm” , “Telah sampai (riwayat) pada kami bahwa sesungguhnya doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam jum’at, malam hari raya Idul Adha, malam hari raya ‘Idul Fitri, malam pertama di bulan Rajab dan malam nisfu Sya’ban.”

Ihwal kemuliaan dan keagungan malam nisfu Sya’ban, Al-Allamah al-Muhaddits Sayyid Syekh Abdullah bin Muhammad bin as-Shiddiq al-Ghumari at-Thanji al-Maghribi rahimahullah dalam karyanya “Husnul Bayan fi Lailati an-Nisfi min Sya’ban” telah menuturkan beberapa riwayat hadits, diantaranya riwayat Imam Ibn Hibban rahimahullah dalam kitab “shahih” nya dari jalur sahabat Mu’adz bin Jabal radiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah memperhatikan (mencurahkan rahmat) kepada para hamba-Nya di malam nisfu Sya’ban, maka Ia ampuni dosa semua hamba-Nya di malam tersebut kecuali orang yang menyekutukan Allah dan orang yang masih menyimpan kedengkian atau permusuhan ( al-Musyahin ).”

Begitu juga riwayat Imam Ahmad rahimahullah dari jalur sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma dengan redaksi tidak jauh berbeda, yang sanad atau mata rantai periwayatnya oleh Imam al-Hafidz al-Mundziri dikategorikan “layyin”, dalam arti masih bisa diterima.

Selain itu, ada juga sabda beliau saw. dalam riwayat Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah rahimahumallah dari jalur sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa, “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu kambing Bani Kalb (kabilah besar yang memiliki banyak kambing).

Belum lagi riwayat Imam Ibnu Majah rahimahullah dari jalur sayyidina Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalam yang lebih spesifik berisi instruksi Nabi saw. untuk menghidupkan malam nisfu Sya’ban, “Bila tiba malam nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan puasalah pada siang harinya ..”

Waba’du , itulah sedikit potret tentang malam nisfu Sya’ban. Dalam tradisi kebanyakan masyarakat islam Indonesia, baik di desa ataupun kota, di majlis atau pondok pesantren, di masjid, di mushalla, maupun di tempat-tempat lainnya, saat tiba malam nisfu Sya’ban mereka mengisinya dengan amalan-amalan mulia seperti mendirikan shalat sunnah, membaca (al-Qur’an) surat Yasin, berdoa bersama selepas shalat Maghrib. Ada juga yang melanjutkan dengan mengamalkan shalat sunnah tasbih dan shalat sunnah lainnya dengan bilangan rakaat yang cukup banyak.

Pada intinya apapun bentuk tehnis amaliahnya, menghidupkan malam nisfu Sya’ban, mengutip pendapat Syekh Abdullah al-Ghumari, adalah mustahab atau disunahkan. Terlebih kemuliaan dan keagungan malam tersebut telah di jelaskan oleh banyak riwayat dan pandangan para ulama yang tidak diragukan keilmuannya, di samping tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Semoga kita bisa meraih kemuliaan dan keberkahan malam nisfu Sya’ban dengan menghidupkannya.

Wallahua’lam bisshawab.

(Ust. Ali Syahbana)

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra