Jakarta, Aktual.com – Penetapan status RJ Lino sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi menuai kejanggalan. Pasalnya, saksi ahli dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga ahli kelautan ITB, Rildova tidak memahami quay container crane (QCC).

Dalam video yang beredar di Youtube, Rildova tengah menjalani sidang. Saat ditanya oleh jaksa mengenai riwayat pendidikannya, ia mengaku bahwa dirinya tidak mempelajari QCC Twinlift.

“tidak, tapi mekanika umum dipelajari,” kata Rildova, dalam video tersebut yang diunggah pada 22 Januari 2016 lalu.

Bahkan ia mengatakan belum pernah melakukan pemeriksaan terkait QCC Twinlift. Rildova mengaku pemeriksaan QCC Twinlift di PT Pelindo II (Persero) itu dilakukan atas perintah KPK.

“Belum pernah melakukan periksaan karena hanya ada perintah KPK. memeriksa kesesuaian antara dokumen dan barang yg ada,” ungkapnya.

Saat jaksa menanyakan terkait pengalaman Rildova untuk membandingkan harga crane, ia pun mengaku belum pernah memiliki pengalaman itu.

Ia mengaku bahwa belum pernah membandingkan harga QCC langsung dari China. Bahkan Rildova juga mengaku tidak memiliki keahlian dalam menentukan nilai dari QCC.

“Belum pernah. Ahli tidak pernah melihat QCC Twinlift sebelumnya, hanya melihat data tertulis dari KPK,” ungkapnya lagi.

Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla pun meyakini bahwa KPK tidak memiliki bukti untuk menjerat RJ Lino yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi.

“KPK tidak mempunyai bukti. Kalau tidak punya bukti, bagaimana bisa dihukum itu orang,” tegas Jusuf Kalla, pada Jumat (26/2) lalu.

RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) sejak Desember 2015. Namun hingga kini kasusnya masih dalam tahap penyidikan. Kasus dugaan korupsi ini diduga merugikan negara Rp 50,03 miliar berdasarkan laporan audit investigatif BPKP tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 tanggal 18 Maret 2011.

Terkait hal itu, JK kembali berkeyakinan bahwa kebijakan yang ditempuh Lino terkait pengadaan tiga QCC itu sama sekali tak merugikan negara. “Apanya merugikan negara, sedangkan itu barang sudah berproduksi dan memang diperlukan,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi