Aktual.com, JAKARTA – Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Febrie Ardiansyah menuding dana dugaan korupsi PT Asabri ke dalam bentuk bitcoin. Tim penasihat hukum Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat Kresna Hutauruk pun menilai pernyataan tersebut sangat berbahaya dan menggiring opini.
“Perlu saya tegaskan, klien kami tidak memiliki kaitan dan tidak pernah berinvestasi pada Bitcoin. Kami sangat keberatan atas pernyataan Dirdik Jampidsus Kejagung yang mengkait-kaitkan investasi bitcoin tersebut terhadap klien kami,” kata Kresna di Jakarta, Jumat 23 April 2021.
Pernyataan Kejagung di berbagai media juga menyatakan “masih akan memperdalam mengenai transaksi tersebut”.
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa Dirdik telah melemparkan pernyataan berbau opini yang ambigu dan masih sangat prematur dan fitnah yang disebutkan dihadapan publik.
“Statement itu belum jelas berapa nilai pasti transaksi tersebut, dan siapa pihak yang berinvestasi. Dirdik hanya menyebut nama-nama tersangka yang dijerat TPPU tanpa menegaskan tersangka mana yang membeli bitcoin tersebut. Sangat berbahaya, karena menggiring opini publik seakan-akan klien kami memang berinvestasi bitcoin. Bahkan selama pemeriksaan, klien kami tidak pernah ditanyakan tentang investasi bitcoin,” kata Kresna.
Pihaknya pun merasa keberatan terhadap penyitaan kapal tanker dan kapal lainnya, yang senantiasa digembor-gemborkan oleh Kejaksaan adalah milik kliennya yang terkait dengan perkara Asabri. “Padahal sangat jelas pembelian kapal-kapal tersebut adalah merupakan investasi dari perusahan jepang (Mitsui) dan berasal dari pinjaman bank.
Bahkan saat ini juga masih menjadi agunan bank! Mohon dicatat juga bahwa kapal tersebut sudah dimiliki Tram sejak tahun tahun 2012. Jauh sebelum klien kami masuk ke TRAM. Klien kami masuk TRAM pada tahun 2017,” ujarnya.
Terkait proses penyitaan aset kapal tanker, pihaknya menduga Kejaksaan melanggar Pasal 39 KUHAP, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) yang mengatur secara spesifik tentang perlindungan terhadap pihak ketiga.
Seperti contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1731K/Pdt/2011 menegaskan bahwa objek jaminan kredit yang telah dibebani hak tanggungan yang telah diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan, memiliki hak dan kepentingan yang melekat dan harus mendapat perlindungan hukum.
Kejaksaan Agung, lanjutnya, sebagai pihak yang memiliki kewenangan penyidikan dan penelusuran aset seharusnya dapat dengan mudah melihat dari mana asal dana untuk pembelian kapal tersebut. Korps Adhyaksa pun wajib membuktikan adanya aliran dana terkait Asabri terhadap pembelian kapal itu.
“Mengingat faktanya, pembelian kapal tersebut adalah berasal dari invetasi perusahaan Jepang (Mitsui) yang sudah ada jauh sebelum klien kami masuk ke TRAM. Jelas tidak ada kaitannya sama sekali dengan perkara Asabri. Sebagai advokat, kami mendukung proses penegakan hukum terhadap perkara Asabri sehingga nanti pada saatnya dipersidangan klien kami dapat menjelaskan bahwa beliau tidak bersalah. Namun bila proses penyidikannya saja sudah amburadul seperti ini, maka sebagai bagian dari pembayar pajak, terus terang saya sangat kecewa. Banyak sekali hak klien kami yang dilanggar oleh para penyidik Kejaksaan Agung dibawah komando Dirdik. Termasuk hak untuk mendapat informasi mengapa aset-asetnya disita,” katanya.
“Padahal perkara ini masih dalam tahap penyidikan dan belum berkekuatan hukum tetap. Jika penyitaan dilakukan untuk kepentingan uang pengganti, maka Kejaksaan Agung harus menunggu perkara ini memiliki kekuatan hukum tetap dulu. Itu amanat Undang-Undang, jangan menegakkan hukum dengan melanggar hukum,” ujarnya lagi.
Sementara Pengamat Kejaksaan Fajar Trio Winarko pun mengkritisi pernyataan Dirdik. Kata dia, dalam proses penegakan hukum sejatinya jangan melontarkan pernyataan berbau fitnah dan mencoba menggiring opini publik merupakan sesuatu yang haram.
“Dulu era Jaksa Agung almarhum Basrief Arief, informasi penyidikan selalu satu pintu yakni melalui Kapuspenkum ataupun langsung Jampidsus. Berbeda saat ini, sekelas Dirdik bisa koar-koar ke media namun pernyataan yang dikeluarkan justru berpotensi mendistorsi proses penyidikan. Ini bahaya bisa mengganggu proses penegakan hukum yang berkeadilan, dan menjurus ke fitnah,” kata Fajar di Jakarta.
Ia pun berharap Jaksa Agung melakukan evaluasi terhadap berbagai pernyataan Dirdik agar lebih bijak dalam mengeluarkan informasi publik sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. “Sehingga informasi yang disampaikan tidak berpotensi seakan-akan pihak yang masih menjadi tersangka sudah seakan-akan pasti bersalah sebelum diajukan dalam persidangan. Apalagi opini tersebut belum pasti apakah benar atau salah,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Ridwansyah Rakhman