Jakarta, Aktual.co — Hanya dalam hitungan hari atau tepatnya pada 18 Maret 2015 mendatang, izin ekspor konsentrat PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) akan berakhir. Sementara itu, sejak sebulan lalu pihak Newmont sendiri telah mengajukan permohonan perpanjangan izin ekspor kepada Pemerintah. Permohonan tersebut diajukan dengan dalih berdasarkan Permen ESDM Nomor 11 tahun 2014.

Sekadar Informasi, izin ekspor konsentrat Newmont diberikan untuk periode 18 September 2014 hingga 18 Maret 2015 dengan kuota ekspor tembaga mencapai sekitar 350.000 ton. Berdasarkan Permen ESDM Nomor 11 tahun 2014, maka Newmont harus mengajukan permohonan perpanjangan izin paling cepat dilakukan 45 hari, dan paling lambat 30 hari sebelum rekomendasi berakhir.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, jika merujuk pada UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, maka diatur dengan tegas bahwa hasil tambang berupa konsentrat harus terlebih dahulu melalui pemurnian (smelting). “Nyatanya, UU Minerba dan Permen tidak sejalan. Harusnya pemerintah tegas kepada Freeport dan Newmont. Kita seharusnya bikin strategi sehingga mereka terpojok. Toh mereka akan tunduk juga,” kata Marwan kepada Aktual di Jakarta, ditulis Minggu (8/3).

Ia mengakui, meski akan berdampak kehilangan pendapatan negara triliunan Rupiah apabila Pemerintah tegas mengikuti UU Minerba, namun yang harus dipikirkan adalah mencari solusi untuk meminimalisir potensi kehilangan tersebut tanpa melanggar amanah konstitusi. “Memang bisa saja berdampak kita kehilangan triliunan. Kita harus cari jalan, dampak ini bisa kita minimalisir, sehingga UU itu tidak kita langgar. Makanya saya tanyakan kenapa (Pemerintah) tidak bikin Perpu? Atau mungkin kita tunda dulu, baiklah kita rubah, kita juga bisa dapat lebih banyak, seperti investasi dan luas wilayah kalau bisa jangan lebih dari 25 ribu hektar,” terangnya.

Menurutnya, apapun alasannya, Pemerintah jangan pernah sekali-kali melanggar UU. Solusinya mungkin dengan membuat Perpu, tapi disaat yang bersamaan Pemerintah juga harus menjaga kepentingan dominasi negara. “Melalui sahamnya itu jangan cuma 30 persen, okelah misalkan dia (Freeport) dikasih perpanjangan sampai 2041, tapi kita lambat laun misalnya di 2025 kita jadi mayoritas, tapi kalau kita biarkan lalu diperpanjang sampai 2041 lalu saham kita cuma 30 persen itukan merugikan sekali”.

“Permen dan PP Menteri ESDM itu harus batal demi hukum,” imbuhnya.

Ia menambahkan, dalam hal ini Pemerintah juga bisa saja disalahkan lantaran perannya yang cenderung pasif. “Ini kita juga boleh menuding pemerintah, dalam UU sudah jelas diatur, tapi pemerintah sendiri justru berperan pasif. PP yang harusnya disiapkan dibawah UU itu mereka buat terlambat, lalu mereka bilang harus ada smelter, tapi infrastruktur untuk jalan atau listrik mereka tidak berperan aktif. Atau misalnya ada BUMN yang digerakan untuk mengkordinir pembangunan smelter atau terlibat dalam kepemilikan saham juga itu tidak dilakukan. Hanya menyerahkan saja, itu juga bermasalah sebenarnya. Tidak bisa kita 100 persen menjalankan kepada kontraktor yang tidak membangun smelter karena kita sendiri sebagai pemerintah tidak menjalankan fungsinya secara proporsional,” ungkapnya.

Artikel ini ditulis oleh: