Jakarta, Aktual.com – Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan adalah adanya lailatul qadar. Kaum Muslimin sangat berharap bisa memperolehnya karena diimani sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Siapapun kaum Muslimin yang memperoleh lailataul qadar maka amalan kebajikan yang dilakukannya pada malam itu nilainya melebihi kebajikan selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadar-nya.
Hal ini sebagaimana penjelasan dalam kitab tafsir Bahr al-‘Ulum karya Abu al-Laits an-Naisburi berikut ini;
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ” يَعْنِي اَلْعَمَلُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلُ فِي أَلْفِ شَهْرٍ لَيْسَ فِيهَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
“’
Firman Allah swt; ‘Lailatul qadr itu lebih baik dari seribu bulan’ maksudnya adalah amal kebajikan yang dilakukan pada lailatul qadar itu lebih baik dibanding amal kebajikan selama seribu bulan yang tidak ada di dalamnya lailatul qadar.” (Lihat, Abu al-Laits as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulum, Bairut-Dar al-Fikr, juz, III, h. 577).
Untuk memahami permasalahan tersebut, simak tanya jawab bersama Ustadz Mahbub Maafi Ramdlan, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU yang dilansir dari Antara.
Amalan apa yang dilakukan kaum Muslimin agar mendapatkan lailatul qadar?
Setidaknya ada tiga amalan yang bisa dilakukan agar dipermudah mendapatkan lailatul qadar.
Pertama, menahan diri untuk hubungan badan pada sepuluh hari akhir Ramadhan. Kedua, meningkatkan intensitas beribadah terutama pada malam hari.
Ketiga, membangun keluarga. Maksudnya adalah mendorong atau meminta keluarga untuk melakukan amaliah sunah dan amal kebajikan selain yang fardhu.
Demikian sebagaimana dipahami dari hadits berikut ini;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ-أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Aisyah RA, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW ketika masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, mengencangkan kain bawahnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya,” (Muttafaq ‘alaih).
Lantas, bagaimana dengan wanita yang sedang mengalami haid atau nifas atau bahkan orang yang sedang tidur, apakah ia juga bisa memperoleh lailatul qadar?
Pertanyaan ini pernah diajukan oleh Juwaibir bin Said al-Balkhi kepada adh-Dhahhak. Beliau pun menjawab mereka bisa memperoleh lailatul qadar.
Sebab, setiap orang yang Allah terima amalnya maka akan diberikan bagian dari lailatul qadar.
قَالَ جُوَيْبِرٌ : قُلْتُ لِلضَّحَّاكِ : أَرَأَيْتَ النُّفَسَاءَ وَ الْحَائِضَ وَ الْمُسَافِرَ وَ النَّائِمَ لَهُمْ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ نَصِيبٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ كُلُّ مَنْ تَقَبَّلَ اللهُ عَمَلَهُ سَيُعْطِيهِ نَصِيبَهُ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Jubair berkata; ‘Aku pernah bertanya kepada adh-Dhahhak, bagaimana pendapatmu mengenai wanita yang sedang nifas, haid, orang yang bepergian (musafir), dan orang tidur, apakah mereka bisa memperoleh bagian dari Lailaltul Qadr? Jawabnya, ya, mereka masih bisa memperoleh bagian. Setiap orang yang Allah swt terima amalnya maka Allah swt akan memberikan bagiannya dari Lailatul Qadr'” (Lihat, Ibnu Rajab al-Hanbali, Latha`if al-Ma’arif fima Limawasim al-‘Am min al-Wazha`if, h. 264)
Berpijak dari penjelasan adh-Dhahhak ini maka wanita yang haid atau sedang mengalami nifas bisa memperoleh lailatul qadar.
Maka bagi para wanita yang sedang mengalami haid atau nifas di bulan puasa ini, jangan merasa berkecil hati karena dalam kondisi tidak suci (haid atau nifas) mereka masih memiliki peluang yang sama dengan yang lainnya dalam memperoleh lailatul qadar.
Perbanyaklah dzikir pada sepuluh hari terakhir bulan puasa Ramadhan, karena ini amalan yang mungkin dilakukan wanita yang sedang mengalami haid atau nifas, serta tingkatkan intensitas sedekah untuk membantu sesama, terutama kepada orang-orang yang secara langsung ekonominya terdampak pandemi COVID-19.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin