Jember, Jawa Timur, Aktual.com – Pengamat hukum dari Universitas Airlangga yang juga deklarator LBH Pers Herlambang P. Wiratraman mengatakan kekerasan terhadap jurnalis menjadi ancaman yang serius dalam kebebasan pers di Indonesia.

“Publik dikejutkan dengan penganiayaan yang dialami jurnalis Tempo Nurhadi saat melakukan tugas jurnalistiknya dan alat kerjanya dirampas hingga dirusak,” katanya, saat menanggapi peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Senin (3/5).

Menurutnya komunitas jurnalis dan pendukung kebebasan pers berharap kasus tersebut berlanjut ke proses peradilan dan meneguhkan pertanggungjawaban hukum melalui penghukuman bagi siapa pun pelaku kekerasan.

“Serangan terhadap jurnalis berpusat pada dua isu, yakni pengungkapan kasus korupsi dan kasus eksploitasi sumber daya alam secara eksesif, termasuk saat meliput penolakan revisi UU KPK 2019 dan UU Cipta Kerja 2020,” tuturnya.

Ia menilai pengungkapan kasus dan penegakan hukumnya lebih banyak memperlihatkan fakta impunitas, sehingga banyak kasus kekerasan yang dialami jurnalis menguap begitu saja.

Data Aliansi Jurnalis Independen pada Tahun 2020 memperlihatkan setidaknya 84 kasus serangan atau kekerasan menyasar jurnalis di sejumlah daerah 2020 dan mayoritas tidak pernah diusut oleh penegak hukum.

“Jurnalis rentan mendapat kekerasan karena tiga faktor dominan, yakni impunitas, dominasi politisasi kasus dan dukungan perlindungan jurnalis di internal perusahaan pers juga terbatas, atau bahkan tidak ada,” katanya.

Herlambang mengatakan impunitas yang terus menguat dan penegak hukum konvensional kerap menghadirkan bukti kekerasan, sehingga akibatnya jarang diproses hukum.

“Apabila diproses, lemah argumentasi hukumnya. Persidangan kasus Ghinan (Radar Madura, Bangkalan) yang dianiaya belasan orang saat liputan, berakhir dengan di bebaskannya pelaku kekerasan,” ujarnya.

Herlambang yang juga penulis buku Press Freedom, Law and Politics in Indonesia itu menjelaskan kekerasan terhadap jurnalis kerap melibatkan orang kuat, jaringan kekuasan partai, politisi atau pemodal yang mengintervensi penegakan hukum, sehingga kepercayaan publik yang rendah terhadap penegakan hukum seakan menggampangkan kekerasan di ruang publik.

“Kasus pembunuhan jurnalis Prabangsa (di Bali) memperlihatkan betapa upaya penegakan hukumnya berliku-liku terkait politisasi kekuasaan,” ucap anggota majelis etik AJI Jember itu.

Ia menilai dukungan perlindungan jurnalis di internal perusahaan pers juga terbatas, atau bahkan tidak ada karena sering kali kekerasan terhadap jurnalis dipaksakan penyelesaian secara damai, bahkan pemilik media justru ikut menekan jurnalis, termasuk dengan alasan merugikan ekonomi perusahaan pers.

“Sayangnya, penegakan hukum pers melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, terutama Pasal 18 Ayat (1) tidak digunakan secara optimal oleh penegak hukum,” katanya.

Untuk menjaga dan membentengi keselamatan jurnalis, lanjut dia, diperlukan komitmen politik kuat mendorong kewajiban negara melindungi jurnalis serta memastikan kondisi kerja yang aman.

Ia menjelaskan keselamatan jurnalis mendasar untuk mewujudkan hak universal atas informasi, kebebasan berekspresi dan media, sekaligus menjaga prinsip demokrasi.

“Dukungan keselamatan jurnalis tidak akan kuat bentengnya jika tidak ada upaya bersama organisasi media, perwakilan masyarakat sipil, organisasi internasional, serta jurnalis dan pekerja media itu sendiri, menjaga dan mengembangkan iklim kebebasan pers,” ujarnya. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin