Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources (CERI) Yusri Usman
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources (CERI) Yusri Usman

Jakarta, Aktual.com – Pernyataan Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Achmad soal transisi Blok Rokan menuai kritik pedas. Tribunnews pada Minggu (2/5/2021) melansir pernyataan Achmad menuding Pertamina tidak mengambil langkah cepat untuk mengatasi problem pembangkit listrik sebagai tulang punggung produksi minyak di Blok Rokan.

“Tudingan itu sangat mengesankan anggota dewan ini gagal paham tentang masalah pembangkit listrik Blok Rokan. Sehingga terpeleset saat mengumbar tudingannya,” ungkap Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources (CERI), Yusri Usman kepada media, Selasa (4/5/2021) malam.

Menurut Yusri, seharusnya tudingan itu lebih layak dialamatkan ke SKK Migas. Karena negara telah menugaskan lembaga ini dengan kewenangan yang luar biasa. Kewenangan ini meliputi kewenangan merivisi dan menyetujui Plan of Develoment, Work Program & Budget, serta Autorization For Expenditure (AFE) sebagai kewenangan untuk mengendalikan dan mengawasi seluruh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dalam menjalankan proses bisnisnya di hulu.

“Seandainya pun Pertamina itu bukan BUMN, sudah seharusnya SKK Migas harus dapat memberikan kepastian berusaha dan melindungi kepentingan perusahaan yang telah memenangkan tender operator wilayah kerja migas. Apalagi dalam hal ini Pertamina sebagai pemenang tender telah menyetorkan signature bonus sebesar USD 748 juta atau setara Rp 13,1 triliun kepada negara. Pertamina juga telah membuat komitmen kerja pasti senilai USD 500 juta untuk bisa mempertahankan laju produksi Blok Rokan,” beber Yusri.

Selain itu, lanjut Yusri, tentunya Anggota DPR RI tahu persis, Pertamina itu adalah BUMN. “Jika Pertamina selama ini terkesan banyak diam soal status pembangkit listrik ini, tentulah karena menghormati kewenangan SKK Migas,” ungkap Yusri.

Yang jelas, kata Yusri lagi, Pertamina pasti telah mempersiapkan dirinya untuk menjadi pengelola Blok Rokan itu dengan menunjuk PLN sejak 1 Febuari 2021 sebagai penanggungjawab pasokan listrik Blok Rokan pada 9 Agustus 2021 mendatang.

“Jadi Pertamina lebih fokus membangun proses bisnis profesional dan menghargai dengan tidak mencampuri hal-hal di luar wewenang dan tanggungjawabnya,” ulas Yusri.

“Mungkin Saudara Achmad sebagai Anggota DPR belum mengetahui bahwa status pembangkit listrik Cogen yang diakui PT MCTN sebagai miliknya adalah berdasarkan Energy Service agreement (ESA) 1 Oktober 1998. Berdasarkan ESA status pembangkit itu merupakan aset investasi yang tidak ditagihkan atau dibayar oleh cost recovery, yang tidak akan dikembalikan sebagai aset negara pada akhir operasi 8 Agustus 2021,” beber Yusri.

Konyolnya lagi, lanjut Yusri, SKK Migas sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, ternyata telah membiarkan temuan BPK tahun 2006 soal status kepemilikan pembangkit listrik itu. Temuan itu seharusnya bisa menjadi dasar untuk meninjau kembali ESA itu. Peninjauan itu membuka peluang pembangkit itu bisa dinyatakan sebagai aset negara ketika kontraknya berakhir bulan Agustus tahun ini.

“Aneh anak ajaib, sebaliknya pejabat SKK Migas justru telah turut mengukuhkan (bekrachtiging) kecatatan proses awal kelahiran ESA pada 1 Oktober 1998 yang cacat hukum menurut temuan BPK tahun 2006 itu dengan beberapa amandemen dari ESA tersebut,” ujar Yusri.

Dalam laporan BPK itu, kata Yusri, jelas telah disebutkan bahwa pengadaan pembangkit listrik cogen 300 MW dengan nilai investasi USD 190 juta dengan menunjuk langsung PT MCTN oleh PT CPI, telah terindikasi mengandung praktek-praktek KKN. Sebab, 95% pemilik saham di MCTN adalah Chevron Standard Limited (CSL). CSL masih terafiliasi dengan Chevron Corporation atau sister company. Jadi merupakan suatu related party transaction.

“Apalagi alasan PT CPI telah memilih langsung PT MCTN saat itu dengan pertimbangan mendesak untuk kebutuhan listrik memenuhi target peningkatan produksi minyak Blok Rokan. Namun dari data-data produksi mulai tahun 2000 hingga 2006 malah memperlihatkan fakta-fakta yang terbalik. Yakni produksi minyaknya menurun terus,” lanjut Yusri.

Ironisnya, sambung Yusri, sampai dengan akhir pemeriksaan BPK pada 2 Maret 2006, tim BPK belum mendapat hasil analisa atau alasan yang mendasari mengenai keputusan PT CPI untuk tidak membangun sendiri pembangkit listrik tersebut. Tetapi menunjuk PT MCTN sebagai Special Purpose Vehicle (SPV). Dan itu bertentangan dengan Kepres Nomor 16 tahun 1994 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

“Oleh sebab itu, sudah seharusnya Kementerian ESDM dan SKK Migas yang lebih bertanggungjawab dan harus bisa bekerja keras untuk menekan PT CPI dan PT MCTN agar tau diri untuk bisa menyelesaikan soal pembangkit listrik dengan bijak untuk kepentingan nasional, tanpa harus membuka borok lama,” ungkap Yusri.

Mengenai pernyataan Achmad, Yusri memberi masukan. “Hemat saya, sebaiknya sebelum berkomentar apalagi menuding pihak tertentu, kita harus lah memahami hal sesuatu yang kita akan komentari itu. Semoga Saudara Anggota DPR dapat meluangkan waktu memahami setidaknya membaca ESA dan LHP BPK tahun 2006 itu,” tutup Yusri.(hen)

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi