Jakarta, Aktual.com – Syahdan, empat orang sahabat berbeda kebangsaan menemukan sekeping uang. Orang Persia berkata, ”Dengan uang ini aku akan membeli anggur.” Orang Arab tak sepakat, ”Tidak, kita harus membeli inab.” Orang Turki keberatan, ”Aku mau uzum.” Orang Yunani tak tertarik pada pilihan ketiga rekannya, ”Aku ingin stafili.”
Saat pertengkaran memuncak, seorang bijak datang melerai. ”Aku bisa memenuhi keinginan semua dengan uang itu, asal kalian percaya. Sekeping uang ini akan jadi empat, dan kalian akan rukun kembali.”
Orang bijak itu lantas pergi dan kembali dgn membawa anggur. Keempat orang itu girang semua. Ternyata, semua kemauan dgn bahasa berbeda, merujuk hal yang sama: anggur.
Jalal ad-Din Rumi mengisahkan itu sebagai tamsil tentang mereka yang terperangkap dalam kerangkeng harfiyah, penampakkan lahir, tanpa mengerti kedalaman arti dan substansinya.
Untuk bisa menerobos hambatan kulit harfiyah, kita harus memperhatikan maksud. Jika seseorang telah mengutamakan maksud dan makna terdalam, tak ada lagi ke-dua-an. Ke-dua-an terletak dlm cabang, sedang akarnya paling utama tetap satu. Spt kata Empu Tantular, “bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa”, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yg mendua”.
Masalahnya, kehidupan modern dengan segala diferensiasi dan gemerlap ornamennya seringkali menyilapkan kejernihan pandangan. Adapun ilmu pengetahuan, yang mestinya memandu manusia menemukan petunjuk yg benar, terperangkap dalam pukau lahiriyah.
Untuk merengkuh kembali inti hikmah, kita harus menyelam di level kesadaran lebih dalam, agar bisa meninggi (mikraj) dari kesadaran personal menuju kesadaran transpersonal.
Melihat lanskap realitas dari kerendahan penglihatan, yang terlihat hanyalah keragaman jenis pohon. Namun, dari ketinggian penglihatan elang, segala perbedaan pohon tampak sebagai kesatuan hutan. Cakrawala kehidupan tampak terhampar luas, rangkaian aksi-reaksi terdeteksi, ragam realitas tersambung.
Dengan ketinggian dan keluasan kesadaran kosmik, kesatuan tak dapat eksis tanpa perbedaan: satu untuk semua, semua untuk satu. Dengan begitu, manusia bisa membuka diri penuh cinta: warna menyatu, rasa bersambung, rezeki berbagi.
Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin