Jakarta, Aktual.com – Kuasa Hukum eks Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino atau RJ Lino, Agus Dwiwarsono menilai terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakpastian hukum dalam penyidikan kliennya yang sudah dijadikan tersangka sejak akhir 2015.

Ia mengatakan, KPK telah melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang lantaran menyalahi norma Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019 mengenai asas kepastian hukum dan penghormatan hak asasi yang harus dipedomani KPK dalam jalankan tugas dan wewenangnya terkait penghentian penyidikan atau SP3.

“KPK tidak terbitkan SP3 atas penyidikan terhadap RJ Lino yang perkaranya telah melewati batas waktu dua tahun dan tidak dilimpahkan ke pengadilan ini merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK,” kata Agus, Senin (24/5) kemarin.

Menurut Agus, praperadilan yang diajukan kliennya beralasan untuk dikabulkan atas dasar penghormatan hak asasi dan kepastian hukum. Selama proses sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, ucapnya, terungkap sejumlah fakta hukum.

Saat ini, sidang praperadilan yang diajukan RJ Lino terkait kasus korupsi pengadaan quay container crane (QCC) di PT Pelindo II akan memasuki babak akhir yakni pembacaan putusan. RJ Lino pun berharap gugatan praperadilan yang dimohonkannya akan dikabulkan.

“Kami meyakini bahwa praperadilan ini cukup alasan hukumnya untuk dikabulkan,” ujarnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita menyebut kasus RJ Lino merupakan peristiwa yang langka. Pasalnya selama lima tahun lebih RJ Lino tersandera oleh status tersangka yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gagal menuntaskan di tahap penyidikan.

“Kasus RJ Lino merupakan peristiwa langka di negara-negara di dunia kecuali dalam sistem otoritarian,” ujar Romli.

Ia mengatakan sengkarut proses hukum yang menahan RJ Lino mesti disudahi. Penegakan hukum harus dilaksanakan secara konsisten sebagai konsekuensi logis dari pelanggaran hukum termasuk terhadap UU Tipikor.

Namun tata caranya tetap harus mengikuti amanat KUHAP dan hukum acara khusus tipikor. Di sisi lain dari asas lex certa masih ada asas kepatutan (billijkeheid) yang juga harus dipertimbangkan.

“Karena subjek penetapan tersangka dan penahanan adalah manusia sekalipun di duga melakukan korupsi. Asas kepatutan tidak diwujudkan dalam undang- undang akan tetapi terdapat dalam hati nurani setiap insan manusia,” paparnya.

Maka, kata Romli, penetapan tersangka terhadap RJ Lino sejak 2016 atau lebih dari lima tahun itu sudah dapat dipastikan melanggar asas kepatutan. “Itu lebih dari yang diwajibkan untuk tenggat waktu penahanan berdasarkan KUHAP 480 hari,” jelasnya.

Melihat fakta itu, Romli mengatakan KPK seharusnya menerbitkan SP3 sesuai amanat UU KPK Pasal 40. Status tersangka RJ Lino selama lebih dari lima tahun dapat disamakan dengan kematian perdata dan mengalami proses stigmatisasi sosial (erving goffman) bukan hanya dirinya tetapi anak dan keluarganya.

“Praperadilan saja sebagai solusi kiranya tidak cukup akan tetapi hak RJ Lino dapat melaporkan ke Dewan Pengawas dan Komnas HAM dengan alasan perampasan kemerdekaan yang dilarang menurut UU HAM dan UUD 1945,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi