Jakarta, Aktual.co — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) rencananya akan bertemu dengan PT Freeport Indonesia pada Jumat (6/3) besok. Pertemuan terkait rencana kerja pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) tembaga nasional.
Smelter tembaga nasional ini sejatinya melibatkan empat pemegang Kontrak Karya (KK), masing-masing Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Gorontalo Mineral dan PT Kalimantan Surya Kencana. Mereka sebelumnya telah sepakat membangun smelter yang akan digarap oleh Freeport di Gresik Jawa Timur.
Sementara Newmont, Gorontalo Mineral dan Kalimantan Surya menjadi pemasok bahan baku konsentrat tembaga ke smelter tersebut. Investasinya diperkirakan mencapai USD 2,3 miliar, akan tetapi mekanisme kerja sama dari keempat KK tersebut belum jelas.
Persoalan smelter Freeport ini menyimpan banyak masalah. Pada Jumat (23/2) dua pekan lalu, Kementerian ESDM menandatangani perpanjangan nota kesepahaman mengenai amandemen Kontrak Karya (KK) Freeport untuk 6 bulan ke depan karena gagal menuntaskan renegosiasi KK sesuai perintah UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dalam jangka waktu enam bulan sejak MoU ditandatangani pada 25 Juli 2014 lalu.
Berbagai persoalan tersebut, menurut Wakil Sekjen DPP Partai Perindo Hendrik Kawilarang Luntungan, pemerintah dan Freeport sama-sama telah melanggar perintah UU Minerba. Nota kesepahaman membuktikan bahwa Pemerintah RI telah mengkhianati UUD 1945 yang mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Sejak semula MoU yang ditandatangani pada 25 Juli 2014 itu melanggar Pasal 170 UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang menyatakan Freeport harus melakukan proses pemurnian atas produksi konsentrat. Pemerintah telah melanggar UU Minerba dengan memberi relaksasi kepada Freeport karena belum dapat melakukan pemurnian dan gagal membangun smelter,” tegas Rully dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/3).
Disampaikan, izin ekspor tidak boleh diberikan sebelum renegosiasi enam poin Freeport dengan pemerintah belum kelar. Ia mencium adanya permufakatan diam-diam antara pemerintah dengan Freeport dalam perpanjangan baru izin ekspor dimaksud.
Atas dasar itu pula, ia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan. Pihak-pihak yang bermain dalam permufatakan tersebut harus diusut. “KPK harus segera masuk ke Freeport, pihak-pihak yang bermain harus disikat,” tegasnya.
Hendrik sendiri menilai smelter sudah seharusnya dibangun di Papua bukan di Gresik seperti komitmen awal Freeport. Menjadi janggal apabila smelter dibangun jauh dari tempat produksi.
“Pembangunan smelter di Papua diharapkan akan mendorong ekonomi, membuka lapangan kerja dan menambah pendapatan daerah di provinsi itu. Aspirasi ini juga didukung Gubernur Papua Lukas,” demikian terang Hendrik.
Artikel ini ditulis oleh:














