Saudaraku, ibarat drama kolosal, ibadah haji adalah epik duologi yang menampilkan gerak kehidupan secara simultan: gerak kembali dan gerak kembara.
Yang pertama menampilkan prosesi kepulangan manusia dari “rumah duniawi” menuju “rumah Ilahi” (gerak keimanan).Yang kedua menampilkan prosesi pengembaraan manusia dari “rumah Ilahi” ke “rumah duniawi” (gerak pengorbanan).
Kedua gerak ini dijalani lewat napak tilas jejak historis para pahlawan peradaban (Ibrahim, Hajar, dan Ismail) sebagai hulu berpadunya sungai keimanan dan pengorbanan.
Gerak kembali ke rumah Allah ini dilalui lewat prosesi “haji kecil” (umrah) dengan serangkaian ritual: ihram, thawaf, dan sa’i.
Ali Shariati melukiskan makna simbolis dari ritual umrah itu secara menawan. Dalam berihram, sang aktor (manusia) harus menanggalkan pakaian sehari-hari di miqat. Karena pakaian, menutupi diri, dan watak manusia; melambangkan status dan perbedaan; menciptakan batas palsu yang menyebabkan perpecahan di antara umat manusia.
Dalam perjalanan menuju “rumah Allah”, segala batas dan perbedaan itu harus dilucuti, karena di mata Allah, derajat manusia sama. Maka, kenakanlah kain tak berjahit dengan warna dasar (putih). Saksikanlah, dalam kesederhanaan dan tanpa topeng, manusia menemukan persamaan dan kesederajatan. Dan, hanya dengan kondisi spt itu, bolehlah ia menuju Ka’bah.
Di dalam thawaf, hendaklah sang aktor ikut hanyut dalam arus lautan manusia lainnya. Semua “aku” bersatu menjadi “kita”, berputar mengitari Ka’bah, bagaikan bintang-bintang yang beredar mengelilingi orbitnya. Itu berarti, utk dapat menghampiri Allah, setiap individu harus menghampiri manusia. Jalan ketuhanan adalah jalanan kemanusiaan. Tanpa tindakan kemanusiaan, kesucian ketuhanan tak bisa direngkuh.
Dalam sa’i, sang aktor berlari-lari kecil antara dua bukit, memerankan heroisme Siti Hajar, yang berjuang mencari air untuk menyelamatkan bayinya, Ismail. Sa’i berarti berjihad sebisa mungkin demi sesuatu yang lebih besar dari kepentingan sendiri. Bermula dari bukit Shafa (yang berarti cinta murni) menuju Marwah (yang berarti idealitas dan altruisme). Pada titik ini, keimanan berpadu dengan pengorbanan. Dan, di situlah haji kecil berakhir.
Ketika gerak kembali berakhir, saatnya melakukan gerak kembara. Kenikmatan “mengenali” Tuhan (makrifat) bukanlah untuk dinikmati sendirian, melainkan perlu dirayakan bersama lewat kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran pengayoman yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan alam semesta. Di sini, kita dituntut untuk mengenali diri dan dasar perjuangan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Maka, haji akbar pun dimulai.
Pada 9 Dzulhijjah, sang aktor pun meninggalkan “rumah Allah” menuju Padang Arafah. Selama seharian, jamaah haji berhenti (wukuf) di sini, berjemur di bawah terik matahari, membiarkan kepicikan egosentrisme terbakar oleh terang pengetahuan. Arafah sendiri artinya pengetahuan. Pengetahuan sebagai titik awal pengenalan diri dan tugas kesejarahan.
Bersama sinar mentari yang tenggelam, sang aktor mengarungi malam menuju Masy’ar. Dalam konsentrasi di keheningan malam, diharap terbit kesadaran bahwa pengetahuan bisa bermanfaat atau menyesatkan bagi manusia bergantung pada kesadaran kemanusiaan. Kesadaranlah yang mengubah pengetahuan menjadi moralitas, imoralitas, damai, perang, keadilan, ataupun kezaliman.
Masy’ar artinya kesadaran. Masy’ar adalah cahaya yang dinyalakan Allah di dalam hati orang-orang yang dikehendakinya, yakni orang-orang yang berjuang bukan demi diri sendiri, melainkan demi kemaslahatan orang banyak.
Menyongsong matahari terbit, sang aktor bergegas menuju Mina. Tibalah saat terpenting di dalam ibadah haji; tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan Idul Adha. Persinggahan di Mina yang terlama dan terakhir ini melambangkan harapan, aspirasi, idealisme, dan cinta. Setelah memiliki pengetahuan dan kesadaran, yang harus dimiliki dalam perjuangan adalah kecintaan terhadap kebenaran dan kemanusiaan.
Mina artinya cinta. Di sini kecintaan kepada kebenaran dan kemanusiaan dicapai melalui dua ujian. Pertama, melawan berhala-berhala yang memperbudak manusia, yang dilambangkan dengan melempar batu di tiga jumrah.
Pada jumrah pertama, manusia berperang melawan berhala Firaun sebagai lambang penindasan. Pada jumrah kedua, manusia berperang melawan berhala Karun sebagai lambang keserakahan. Pada jumrah ketiga, manusia melawan Balam sebagai lambang kemunafikan.
Kedua, kecintaan pada kebenaran dan kemanusiaan juga diuji dgaln kesediaan melakukan pengorbanan, yang dilambangkan dengan penyembelihan hewan kurban.
Pengorbanan inilah yang merupakan fase tertinggi dan terberat dalam perjuangan. Seberat Ibrahim yang harus mengorbankan anak yang dicintainya. Pengetahuan, kesadaran, dan cinta tanpa pengorbanan tak mungkin mendapatkan hasil yang diinginkan. Ibadah haji mestinya memberi kesadaran bahwa keimanan sejati harus dibuktikan dalam kesediaan melakukan pengorbanan.
Diperlukan tekad dan keberanian untuk melakukan penyembelihan: menyembelih hasrat korup demi kesehatan negara, menyembelih keserakahan demi kesetaraan, menyembelih elitisme demi penguatan kerakyatan, menyembelih komunalisme demi solidaritas kewargaan, menyembelih pemborosan demi kelestarian, menyembelih hedonisme demi produktivitas, menyembelih kekerasan demi kebahagiaan hidup bersama. Marilah kita berkorban.
(Yudi Latif)