Jakarta, Aktual.com– Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Sujj al-Nahawandi atau yang lebih dikenal sebagai Imam Junaid al-Baghdadi, lahir di Baghdad pada tahun 210 H.
Imam Junaid al-Baghdadi mengawali karirnya sebagai ulama dengan mempelajari hadits dan fiqih di bawah bimbingan Abu Tsawr Ibrahim bin Khalid al-Kalbi al-Baghdad. Pada saat itu beliau berumur 20 tahun, mempelajari ilmu fiqih dan hadits selama 3-5 tahun.
Beliau adalah keturunan Persia yang lahir dan besar di Baghdad. Keluarganya berasal dari Nihawand, kota yang berada di propinsi Jibal, Persia,dan sekaligus merupakan kota tertuanya yang dikuasai oleh pasukan Islam sekitar tahun 19-21 H. pada masa Khalifah ‘Umar bin al-Khattab (w. 23 H).
Sewaktu kecil, Junaid al-Baghdadi memiliki seorang guru yang juga pamannya bernama Abu al-Hasan Sari bin al-Mughallis al-Saqati. Terdapat kisah menarik dan tanda kecerdasan yang dimiliki oleh Imam Junaid al-Baghdadi saat bertemu dengan gurunya Sari al-Saqati, yaitu:
Pada suatu hari, ketika kembali dari sekolah, Junaid mendapati ayahnya sedang menangis.
“Apa yang terjadi?” tanya Junaid kepada ayahnya.
“Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari al-Saqati, tetapi ia tidak mau menerimanya,” ayahnya menjelaskan. Aku menangis karena seumur hidup baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
Junaid berkata, “Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang memberi-kannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia mau menerimanya.”
Uang lima dirham itupun diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junaid kerumah pamannya. Sesampainya ditujuan, Junaid mengetuk pintu. “Siapakah itu?” tanya Sari al-Saqati.
“Junaid,” jawabnya.
“Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hak mu ini.”
“Aku tidak mau menerimanya,” sahut Sari al-Saqati.
“Demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini,” seru Junaid.
“Junaid, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?” tanya Sari al-Saqati.
“Allah berbuat baik kepadamu karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk dengan urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela maupun tidak, ia harus mengantarkan sebagaian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya,” kata Junaid.
Sari al-Saqati sangat senang mendengar jawaban itu, “Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu.” Sambil berkata demikian Sari al-Saqati membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk Junaid disedia-kannya tempat khusus di dalam lubuk hatinya.
(Rizky Zulkarnain)
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra