Ilustrasi

Jakarta, Aktual.com– Belakangan ini tengah ramai perbincangan terkait Childfree, yang dalam istilahnya merujuk kepada orang yang memilih tidak memiliki anak, atau tempat dan situasi tanpa anak.

Childfree menjadi trend, biasanya di negara-negara barat, atau masyarakat yang mengikuti gaya hidup model barat. Lalu bagaimana pandangan Islam tentang gaya hidup tidak punya anak ini?

Dosen IAI Dalwa Bangil, Kholil Hasib memiliki pendapat bahwa pilihan menjadi Childfree ini hak manusiawi tiap individu. Tetapi, sejatinya lebih dari menggunakan haknya itu. Padahal, tidak sesimple itu.

Dalam masalah ini, kita perlu melihat kepada dua aspek, yaitu aspek teologis dan aspek yuridis Islam.

Pertama, Aspek Teologis

Ketika sepasang suami-istri menikah, biasanya yang mereka harapkan adalah segera mendapatkan keturunan. Dalam hal ini terdapat penjelasan al-Quran yaitu:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72).

Rasulullah SAW juga bersabda bahwa dianjurkan untuk memiliki anak, sebagai berikut:

تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءَ يَومَ الْقِيَامَةِ

“Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad).

Ayat dan hadits di atas sangat jelas menjelaskan tentang sudah semestinya menikah itu dibarengi dengan niat meneruskan keturunan. Begitu juga Nabi Muhammad menyukai umatnya ynag memiliki keturunan. Maka dari itu, janganlah menikah itu berdiri di atas paradigma materialism.

Walaupun begitu, memiliki keturunan ataupun tidak merupakan sesuatu yang tidak pernah lepas dari keputusan Allah SWT, Allah SWT berfiman:

لِّلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.”(QS. Asy-Syuro: 49).

Maka dari itu, yang memberi rizki anak keturunan tidak lain adalah Allah SWT bukan seorang pria, juga seorang wanita. Meski begitu, pasangan Muslim juga dianjurkan untuk berusaha mendapatkan keturunan. Ada atau tidak keturunan adalah kehendak Allah SWT. Namun, apabila pasangan sudah berniat untuk tidak mau memiliki keturunan, maka ia telah memilih untuk tidak berada dalam anjuran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Kedua, Yuridis Islam

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali berpendapat sebagai berikut:

فى التواصل الى الولد قربة من اربعة وجوه هي الاصل فى الترغيب فيه عند امن من غوائل الشهوة حتى لم يحب احد ان يلقي الله عزبا الاول موافقة الله بالسعي فى تحصيل الولد الثانى طلب محبة الرسول صلى الله عليه وسلم في تكثير من به مباهته الثالث طلب التبرك بدعاء ولد الصالح بعده الرابع طلب الشفاعة بموت الولد الصغير اذا مات قبله

“Upaya untuk memiliki keturunan menjadi sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tidak ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak menikah. Pertama, mencari ridha Allah dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi saw dengan memperbanyak keturunanan yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.”

Maka begitu, pasangan suami-istri yang sehat secara medis dan masih memiliki peluang untuk melahirkan keturunan dilarang untuk menutup jalan keturunan sebagai mana Muktamar NU ke-12 di Kota Malang tanggal 25 Maret 1937 pada saat itu NU masih dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu keputusannya adalah tidak boleh memutus jalan keturunan.

Dalam keputusan tersebut terdapat pendapat yang dikutip dari kitab I’anatu Thalibin, sebagai berikut:

أفتى ابن عبد السلام وابن يونس بأنه لا يحل للمرأة أن تستعمل دواء يقطع الحبل

“Ibnu Abis Salam dan Ibnu Yunus berfatwa bahwa tidak halal bagi wanita menggunakan obat yang bisa memutus kehamilan”.

Dari beberapa penjelasan tersebut, kita bisa melihat bahwa Childfree tidak sesuai dengan keputusan hukum Islam dan menyalahi tujuan dari pernikahan.

Sumber: Status Facebook Dosen IAI Dalwa Bangil Ahmad Kholili Hasib II

Waallahu a’lam

(Rizky Zulkarnain)

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra