Jakarta, Aktual.com – Tersangka masuk pekarangan tanpa izin yang berhak, R. Lutfi Bin Sech Abdullah bin Awab bin Ali Altway, mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo terkait rasa keadilan dan kepastian hukum atas dirinya yang menyandang status tersangka dari perkara yang pernah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Polda Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Surat terbuka tertanggal 16 Juli 2021 tersebut merupakan rangkain upaya mencari keadilan yang telah dilakukan Lutfi selama kurang lebih tiga tahun terakhir ke berbagai institusi atau lembaga yang dianggap mampu membebaskan dirinya dari jerat hukum yang diduga dilakukan secara sewenang-wenang.
“Kami mengirimkan surat terbuka kepada Bapak Presiden Jokowi sebagai bentuk keputusasaan kami menghadapi proses hukum yang sewenang-wenang oleh oknum penegak hukum,” kata Lutfi, Jumat (3/9).
“Ini permohonan perlindungan hukum dan kepastian hukum atas penetapan status tersangka oleh penyidik Subdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya,” imbuhnya.
Umar Saleh yang ditunjuk Lutfi sebagai kuasa keluarga mengatakan pamannya (Lutfi) berharap Presiden Jokowi berkenan turun tangan menginstruksikan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit agar menghentikan perkara yang oleh Paminal Polri sendiri dianggap tidak prosedural.
Dalam surat pemberitahuan perkembangan hasil pemeriksaan propam (SP2HP2) tertanggal 12 Oktober 2020 yang ditandatangani Brigjen Nanang Avianto, saat ini sudah berpangkat inspektur jenderal (Irjen), dengan tegas disebutkan:
“Ketika dilakukan gelar peningkatan status tersangka terhadaap terlapor (Lutfi), penyidik belum melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap pihak-pihak yang terkait dengan perkaranya yakni: Dinas Perumahan Pemda DKI Jakarta, Direksi PTPN XI (pemilik asal SHGB no.1444) dan Tim Pelaksanaan Tugas Penelitian Data, Yuridis, administrasi dan Data Fisik dari BPN Kota Jakarta Pusat, serta ahli pertanahan. Bahwa tersangka juga memiliki legalitas kepemilikan berupa Eigendom Verponding No 8923 yang tercatat di BPN Kota Jakarta Pusat”
Pertimbangan Paminal Polri terhadap Gafur Siregar Cs akhirnya disidangkan di Biro pertanggungjawaban profesi (wabprof) pada 5 Agustus 2021, beberapa pekan sebelum telegram rahasia Kapolri beredar di kalangan wartawan dimana AKBP Gafur Siregar justru mendapat promosi jabatan menjadi Kapolres Kota Baru, Kalimantan selatan.
Lutfi ditersangkakan melalui gelar perkara yang diinisiasi oleh Kasubdit Harda Direskrimum Polda Metro Jaya AKBP Gafur Siregar, beberapa hari sebelum ia dimutasi menjadi Anjak Binmas Polda Metro Jaya.
Padahal perkara ini sebelumnya sudah pernah dihentikan penyidikannya (SP3) ketika Gafur Siregar yang kala itu masih berpangkat komisaris polisi menjabat sebagai Kanit IV yang menangani perkara tersebut.
Penghentiaan penyidikan itu tertuang dalam Surat Perintah Penghentian Penyidikan tertanggal 29 Mei 2017 yang ditandatangani oleh Direskrimum Polda Mtero Jaya Kombes Rudy Heriyanto Adi Nugroho.
Alasan penghentian penyidikan dikarenakan tidak cukup bukti.
Lutfi ditersangkakan atas laporan PT Multi Aneka Sarana (PT MAS) yang mengklaim tanah milik Lutfi sebagai haknya dengan menggunakan legalitas SHGB no 1444/Kebon Kelapa sebagai dasar laporannya.
“Entah untuk alasan dan kepentingan apa, kami ditersangkakan memasuki pekarangan yang disebut milik orang lain, padahal itu tanah kami sendiri,” tandas Umar.
Guru besar Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. I Gede Pantja Astawa menyebut langkah penyidik Polda Metro Jaya membuka perkara yang sudah di SP3 sebagai sesuatu yang tidak masuk akal.
“Sebuah perkara yang sudah dinyatakan SP3 kembali diproses tanpa adanya bukti baru yang diperkuat oleh keputusan praperadilan,” sergah Prof. I Gede Panjta Astawa.
Gede menegaskan, bahwa sebuah perkara yang sudah dinyatakan SP3 harusnya tidak bisa dilakukan penyidikan kembali sebagai jaminan adanya kepastian hukum.
“Maka polisi sebelum menerbitkan SP3 tentu harus dipertimbangkan secara komprehensif dan akurat, agar sekali terbit SP3, maka sejak saat itu menjadi final, mengikat, dan mempunyai legal binding,” tegasnya.
Fenomena munculnya sprindik dengan alat bukti dan pelapor dua kali berturut-turut ini, kata Astawa, akan melahirkan persoalan hukum baru.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Mudzakir bahkan mendorong Divisi Profesi dan Pengamana (Divpropam) Mabes Polri menelisik motifasi maupun kepentingan di balik keputusan mantan Kasubdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Gafur Siregar yang membuka kembali penyidikan perkara yang sudah dihentikan penyidikannya (SP3).
Dalam ilmu hukum pidana kata Mudzakir jika sebuah objek yang disidik itu tidak termasuk perbuatan pidana, bukan perbuatan pidana, maka proses penyidikan mutlak tidak bisa dibuka kembali karena sudah disimpulkan sebagai bukan perbuatan pidana, atau dikenal dengan SP3 permanen. Yang kedua, jika SP3 disebabkan karena kurang cukup bukti, maka bisa di SP3 demi kepastian hukum.
Dalam kasus yang melibatkan penyidikan AKBP Gafur Siregar, Mudzakir melihat upaya menyidik kembali perkara yang telah di SP3 sebagai sebuah kekeliruan, cacat hukum, sehingga tidak bisa dibuka kembali.
Kepada wartawan, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus membenarkan AKBP Gafur telah menjalani sidang kode etik terkait penanganan kasus saat menjabat Kasubdit II Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Namun setelah dilakukan sidang dan pemeriksaan, Yusri menyampaikan yang bersangkutan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
“Sudah dilakukan sidang dan Paminal Polri kemudian menyatakan M Gafur tidak bersalah dan tidak melanggar kode etik profesi dalam penanganan perkara tersebut,” ujarnya, Sabtu (28/8/21).
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid