Ilustrasi (pixabay)

Jakarta, Aktual.com – Diceritakan ada seorang yang berkeluh kesah kepada gurunya, “Sudah banyak kali zikir yang kubaca, sudah kuhafal seluruh maknanya dan ada yang telah kualami keajaiban karamahnya. Hanya satu yang masih terasa kurang bagiku. Mengapakah dalam berzikir, aku masih belum dapat merasakan dekat dengan Allah? Seolah-olah Allah itu jauh daripadaku, dan aku jauh daripada-Nya. Seperti ada batas atau hijab pemisah antara aku dan Allah”.

Konflik persoalan ini terus ada dan bermain di fikiranku, sehingga terbawa-bawa ke puncak batin yang amat membingungkan tanpa penjelasan.

Akhirnya, ia membuatkan aku sendiri merasa jemu untuk meneruskan zikir. Apakah ada yang salah pada zikirku? Padahal zikir-zikirku itu , kuperolehi secara talqin dan ijazah dari seorang guru mursyid.

Mungkin diantara kita ada yang pernah mengalami hal seperti cerita diatas. Untuk menjawabnya perlu perenungan yang mendalam dan juga konsuiltasi kepada orang yang sudah wushul dan juga merujuk kepada beberapa kitab tasawuuf yang berisi pengalaman pengalaman ruhani dari pengarangnya.

Dan tulisan berikut mungkin bisa menjawab sedikit dari keluhan tersebut.

1. Masalah yang utama sekali ialah dalam zikir itu kita belum mengenal-Nya sebagaimana mengenal-Nya dengan sebenar-benar kenal. Kita hanya sekadar mengenal-Nya dalam ilmu-ilmu kalam yang kita pelajari tetapi tidak dengan rahasia cahaya qalbu yang terdalam. Apabila kau tidak mengenal-Nya dengan qalbu, barangkali pondasi niat untuk berzikir itu tidak dibangunkan dari sudut yang benar dan sempurna. Untuk itu kita harus memperbaiki niat terlebih dahulu. Kemudian kita rawat niat tadi semata-mata demi kerana Allah. Setiap ibadah itu seharusnya dibangunkan atas dasar tauhid dan taqwa dan bukan kerana mengharapkan ganjaranNya.

Mengutip dari penyataaan sidi seikh Ahmad Dzaaruq bahwa awal dari Tasawuf itu adalah “Sidqu Tawajjuh” yaitu memperbaiki dari dosa, bukan dosa karena maksiat tapi dosa karena melakukan amal yang bukan karena Allah.

Orang yang berzikir itu sewajarnya berada di maqam ikhlas (murni). Bersabda Nabi SAW artinya: “Sesungguhnya (nilai) niat itu lebih utama daripada perbuatan.”

2. Apabila kita tidak mengenal-Nya melalui cahaya qalbu, maka zikir kita tadi bertindak atas kemahuan nafsu sendiri. Dan ini merupakan sebuah kesalahan jika terlalu bergantung dengan amal dan tidak dengan rahmat dan kasih-sayang Allah. Mengapa hal itu terjadi, hal itu disebabkan karena kita menganggap zikir kita tadi adalah daripada usaha dirikita sendiri dan bukan daripada karunianya Allah SWT. Ibnu Athoillah sudah mewanti wanti dalam kitab “Hikamnya” di pembahasan bab pertama bahwa agar kita tidak boleh bergantung kepda amal. Dan diberikan contoh oleh imam Syazili dengan ungkapan “aroftu robbi bi robbi” aku mengenal tuhan dengan Tuhanku. Artinya kita harus menyerahkan kehendak Allah dalam usaha mengenalnya bukan karena usaha kita yang ingin mengenaNya.

3. Beranggapan ketika Ketika kita berzikir bahwa kitalah yang mengingati Allah dan Allah itulah yang diingati. Lantaran demikian, sebenarnya kita tidak menyerahkan diri kita sepenuh-penuhnya kepada Allah, tiada sifat tawakal dan redha kepada Allah dengan sebenar-benarnya redha dan tawakal.

Bagaimana mungkin kita dapat dekat dengan Allah selagi kita belum berserah diri kepada-Nya?

4. Sesungguhnya tiada yang mengingati Allah melainkan Allah jua, tiada yang memuji Allah melainkan Allah. Diri ini hanyalah bekas penzahiran Allah (tajalliyaat). Kita sebenarnya tiada, kosong semata-mata. Kita bukanlah kita sebenarnya. Ketika kita berzikir, sebenarnya bukan kita yang berzikir, tetapi Allah yang berzikir memuji Dzat-Nya sendiri. Kita hanya sekadar menjadi alat pilihan-Nya. Suara zikir yang melantun keluar daripada lisan kita itu adalah sebenarnya suara Allah. Kita sekadar berzikir di lidah dan Qalbu kita, sedangkan pezikir yang hakiki adalah tunduk kedalam sifat Kalam Allah.

Gema zikir yang menerawang dalam batin kita itu adalah sebenarnya kalam Allah. Sayangnya kita tidak menyedarinya…kerana kita tidak mengenaliNya…bahawa Dialah hakikat di sebalik sesuatu.

5. Janganlah kita berzikir dengan tujuan zikir karena zikir. Karena ini akan membuat kita terperangkap dan terpesona di maqam yang akan memperlihatkan berbagai keajaiban karomah, tetapi ini jugalah yang akan menghambat kita dalam perhubungan makrifat dengan Allah (terhijab).

Tutuplah rapat-rapat pintu bibir agar zikir itu tidak kedengaran oleh sesiapa pun, sampai malaikat yang bertugas mencatatkan amal di bahu kanan pun tidak tahu di manakah munculnya zikir itu.

Biarkan Allah saja yang tahu zikir itu berada di dalam ‘Sirr’ – ( lubuk rahasia dalam batin terdalam ) yakni di kamar yang Jibril sendiri pun dilarang memasukinya, agar terlepas daripada rasa ‘ujub dan riak serta tidak dipuji orang.

6. Jika kita telah dapat menjalankan zikir atas rasa ikhlas semata-mata kepada Allah, sedang Allah redha kepada kita, ketahuilah bahwa ikhlas itulah tauhid sebenarnya,

Allah sendiri yang akan membimbing dan mengajarkan zikir yang khusus yang hanya kita saja yang mengetahui tentang rahsia zikir itu, di mana zikir itu tidak diajarkan atau diketahui oleh orang awam, sebagai sarana untuk kita bertemu, mengenal dan bersama dengan-Nya.

7. Dan terakhir sekali tinggalkanlah semua dunia dan akhirat dan bersamalah hanya dengan Allah semata-mata dalam setiap tujuan. Kita harus mematikan seluruh wujud diri (fana). Selagi ada wujud diri kita, maka Zikir Haq ini mustahil dapat kita lakukan dengan sebaiknya.

Zikir Haq itu ialah ingat kepada Allah dengan Allah bersama Allah dalam sudut qalbu yang terdalam serta dalam suasana yang paling diam dan hening tanpa perlu mengeluarkan sebarang ucapan hanya merasakan kehadiran Allah itu ada bersama-samamu di mana pun kau berada,

Sehinggalah kita dapat merasakan bersatu dengan-Nya seperti terbakarnya besi ke dalam api, besi itu menjadi api, api itulah besi yang membakar tidak kita lihat sesuatu sebelumnya melainkan Allah, tidak kita lihat sesudahnya melainkan Allah, tidak kita lihat sesuatu di dalamnya melainkan Allah.

Akhirnya tiada lagi yang wujud melainkan Allah di dalam maqam Insan Al-Kamil – sampai cukup masanya besi telah keluar dari api sebagai besi yang indah dan sempurna, tidak lagi sebagai besi yang berkarat serta menjadkebaikan buat kehidupan dunia dan akhirat.

Wallahu alam

Disarikan dari kajian-kajian tiap hari Selasa Malam di Zawiyah Ar Raudhah, Tebet, Jakarta Selata.

(Ahmad Himawan)

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi