Jayapura, Aktual.com – Penemuan api menjadi titik terpenting dalam sejarah manusia yang mengantarkan mereka pada kehidupan yang terus berkembang dalam segenap kesehariannya.
Penemuan awal api dipercaya terjadi sekitar 400.000 tahun yang lalu saat berbagai belahan bumi dihuni Homo Erectus. Ada empat lokasi yang diyakini sebagai tempat penemuan api tertua di dunia; Terra Amata (Perancis), Verteszollos (Hongaria), Torre (Italia), dan Zhoukoudian (China).
Saat itu, api menjadi medium pemanas tubuh dari suhu yang dingin, alat penerang, alat memasak, alat perlindungan diri, hingga digunakan untuk membuat perabotan berburu.
Dalam fase kehidupan modern, manfaat api menjadi semakin kompleks termasuk digunakan dalam perhelatan olahraga. Sejarah mencatat bahwa selama satu abad api menjadi simbol utama dalam menyelenggarakan pesta olahraga dunia.
Demikian pula dengan perhelatan Pekan Olahraga Nasional di Indonesia yang pertama kali berlangsung di Surakarta, Jawa Tengah pada 1948. Kirab api dalam penyelenggaran PON tak pernah absen sekalipun hingga saat ini. Kirab api hadir dalam balutan metafor-metafor yang menaunginya.
Dalam setiap pergelaran olahraga, api dimaknai sebagai unsur yang kompleks dan menjadi sumber kehangatan yang tak pernah padam. Sementara, kobaran api adalah tamsil dari semangat berkompetisi dan sportivitas untuk meraih prestasi.
Makna dalam kirab api PON XX Papua
Pengambilan api PON dari sumber alamiah yang berasal dari perut bumi dan biasa dikenal dengan sebutan “Api Abadi”. Titik ambil api PON XX di Papua dilakukan di Maladuk, Klamono, Kabupaten Sorong yang memiliki sejarah tersendiri bagi masyarakat Papua.
Obor, tungku, dan lentera menjadi perlengkapan utama dalam setiap penyelenggaraan kirab api PON. Tuan rumah akan menyuguhkan desain dan bentuk terbaik yang merepresentasikan daerahnya, pun demikian dengan pelaksanaan PON XX Papua.
Dasar desain perlengkapan obor api PON dibuat menyerupai bentuk tifa, alat musik kebanggaan Bumi Cenderawasih. Tifa bagi masyarakat Papua adalah alat musik tradisional yang mampu menyatukan semua elemen masyarakat.
Pada obor PON Papua tersebut diselipkan ornamen berisi simbol-simbol yang terinspirasi dari kekayaan alam Papua. Salah satu bentuk ornamennya terdapat warna kuning yang menyimbolkan kemakmuran dan kejayaan wilayah gunung dan pantai.
Obor tifa inilah yang akan menyalakan api di kaldron Stadion Lukas Enembe, sebagai simbol semangat para duta-duta olahraga terbaik dalam meraih prestasi.
Adapun sosok yang menjadikan Tifa sebagai inspirasi dalam obor PON ini yakni Reza Pamungkas. Dipilihnya obor model tifa karena alat musik tradisional ini sudah mencangkup filosofi dan budaya masyarakat Papua.
“Ada ornamen alam dan budaya mulai dari motif ular, alat tusuk hidung dari suku Asmat, semua tertera di tifa yang menjadi obor PON Papua,” ujar Reza menjelaskan.
Antropolog Universitas Cendrawasih Enrico Kondologit menjelaskan selama ini ada salah persepsi di masyarakat seolah tifa hanya dipakai di wilayah pegunungan. Sebenarnya tifa juga dipakai mulai dari masyarakat di wilayah pantai hingga pegunungan terutama di daerah Pegunungan Bintang. Sejak 2010, tifa sudah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda.
Ia menjelaskan makna yang terkandung pada obor tifa. Terdapat motif alam (gunung, gelombang dan ombak) yang menggambarkan wilayah adat dari wilayah dari Mamta/Tabi, Mee Pago, dan Lapago, yang berarti simbol harapan dan berusaha atau bekerja keras.
Kemudian motif lipan atau lintah di wilayah adat Ha Anim (Asmat, Kamoro, Malind Anim) yang menandakan kemenangan dan kemujuran dalam perang. Dalam budaya adat Saireri dan Domberai ada motif ular, pucuk pakis, genemo, dan kelapa.
“Ini adalah simbol keuletan dan pertumbuhan,” kata Enrico.
Tak hanya itu, ada motif lingkaran atau fouw dari Sentani di wilayah Mamta/Tabi yang berasal dari kura-kura (ebeuw) dan burung taon-taon atau ulang Papua atau Rangkong Papua (Rhyticeros plicatus). Semua simbol itu, kata Enrico, menegaskan soal kesuburan, umur panjang, dan kesabaran.
Adapun bagian bawah dari obor tifa PON XX Papua terdapat motif lipan/lintah di noken, gelang tangan dari orang Moni di wilayah Meepago merepresentasikan kemenangan dan kemujuran dalam perang dan perjalanan.
Motif alam lainnya adalah sungai di wilayah selatan, terutama suku Asmat, Kamoro, Malind Anim di wilayah adat Ha Anim yang menyimbolkan bekerja, kerja sama, kekeluargaan, dan harapan.
Adapula motif pucuk kelapa dalam obor tifa PON dari wilayah adat Tabi/Mamta merupakan simbol kedewasaan seseorang dan tanggung jawab. Di ukiran obor Tifa PON juga terdapat motif totem (mata leluhur) dari Yali Lapago sebagai simbol pengawasan leluhur.
Perjalanan Kirab Api PON Papua
Api abadi dari Klamono diambil dalam bentuk lentera dan diiringi oleh obor PON lainnya. Setelah sehari diarak di Kota Sorong, obor api PON Papua dibawa mengelilingi lima wilayah adat di Provinsi Papua selama enam hari berturut-turut dari 27 September hingga 2 Oktober 2021.
Kirab Api PON XX dimulai dari Biak (Saereri), Timika (Mee Pago), Wamena (Lapago), Merauke (Anim Ha), Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura (Mamta), dan berakhir di Stadion Lukas Enembe Kabupaten Jayapura.
Api PON XX Papua mulai dikirab pada Senin (27/9) yang dilepas Wakil Gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani. Api abadi tersebut diterima mantan atlet sepak bola Papua Ronny Wabia dan Ortizan Solossa kemudian diarak menuju bandara Bandar Udara Internasional Domine Eduard Osok guna melanjutkan penerbangan ke Biak, Kabupaten Biak, Papua.
“Peristiwa ini merupakan sejarah baru dan suatu kebanggaan tersendiri untuk kami masyarakat di Papua Barat,” kata Lakotani.
Pada setiap kota, api akan diterima dan dikirabkan mengelilingi kota tersebut kemudian disemayamkan sebagai seni budaya yang melibatkan Pemda, TNI-Polri dan kelompok masyarakat adat.
Selain Ronny Wabia dan Ortizan Solossa, sejumlah mantan atlet legendaris lainnya turut berpesta pora. Pada 27 September, kirab api akan tiba di Biak. Dua mantan atlet legendaris Yayuk Basuki dari cabang tenis dan Pino Bahari dari tinju membawa api abadi bersama dengan dua atlet berprestasi asal Papua, Maria Aibekob (loncat indah) dan Franklin R Burumi (atletik).
Setelah itu, kirab api berlanjut di Timika pada 28 September. Kali ini, giliran Santia Tri Kusuma dari cabang balap sepeda bersama M. Bima Abdi Negara dari tenis meja. Atlet dasalomba Maria Londa dan Julius Uwe turut ambil bagian.
Kirab api PON Papua pun berlanjut ke Wamena satu hari setelahnya. Dalam kesempatan ini, giliran Pere Karoba atlet asli Papua yang meraih perunggu pada cabang olahraga dayung single sculls putri di Asian Games 2006 Doha. Selain itu, ada juga Yan Yagobi (atletik), Benny Elopere (tinju), dan Hermawan Susanto (bulu tangkis).
Kirab api obor PON Papua kemudian sampai di Merauke pada 30 September. Kali ini, giliran empat atlet yang akan turut hadir yakni Rossy Pratiwi Dipoyanti (tenis meja), Suharyadi (tenis), Engel Berta Kaize (voli pantai), dan Gerald Malasei Balagaize (lempar lembing).
Kemudian api abadi pun sampai di Sentani pada 1 Oktober dan satu hari setelahnya di Jayapura.Taufik Hidayat dari cabang bulu tangkis sekaligus peraih emas Olimpiade Athena 2004 turut membawa api abadi. Hadir pula Rully Rudolf Nere, salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia asli dari Papua.
Kemudian di Jayapura, giliran Lilis Karubaba dari pencak silat yang membawa api abadi. Dia hadir bersama Erni Sokoy dari dayung dan Kartika Monim dari voli.
Kirab api PON XX Papua sejatinya bukan hanya sekadar syarat upacara penyelenggaraan. Lebih jauh dari itu, ada harapan yang mesti hidup baik bagi ekosistem olahraga maupun masyarakat Papua itu sendiri.
Ada doa yang terpanjat dalam setiap kobaran. Api harus tetap menyala, semangatnya harus tumbuh menyelinap masuk dalam diri atlet dan masyarakat. Kebersamaan, persatuan, kekuatan, dan perdamaian akan menjadi cita yang hidup dan terus tumbuh dalam diri masyarakat Papua.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Dede Eka Nurdiansyah