Jakarta, Aktual.com – Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama akan digelar di Lampung, pada 23 hingga 25 Desember 2021. Salah satu agenda penting forum permusyawaratan tertinggi di organisasi kemasyarakatan NU itu menyangkut suksesi kepemimpinan.
Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU pada 25-26 September 2021 menyepakati penentuan kepemimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar Ke-34 NU melalui dua cara. Pemilihan Ketua Umum PBNU dilakukan dengan pemungutan suara one man one vote (satu orang satu suara), sedangkan untuk Rais Aam PBNU dilakukan secara perwakilan (ahlul halli wal aqdi).
Jalan yang sama
Setiap periode kepengurusan di PBNU, menyisakan jejak yang tidak sama. Tapi jelas, jalannya adalah jalan yang sama. Jam’iyyah yang sama. Bahkan, boleh jadi jama’ah yang sama. NU itu, reputasinya di (1) jaringan dan (2) komunitas. Dalam terminologi tarikhiyah; disebut sanad dan jama’ah. Sanad adalah jaringan ulama dan jama’ah adalah jaringan umat.
Sanad, ya jejak itu tadi. Maka, tanpa sanad, NU pasti kehilangan jati dirinya. Akan dirasakan ada sesuatu yang lepas. NU dibangun di atas rantai sanad yang diyakini musalsal tiada terputus. Dari para muassis hingga Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Maka, setiap pengkhidmatan, nawaytunya lillaahi ta’alaa dan sandarannya adalah sanad. Setiap langkah politik, kenegaraan atau keumatan, mesti berdasar sanad.
Sanad ini, juga berkorelasi dengan keniscayaan penyiapan regenerasi. Dari Salaf Saleh NU mengambil model kaderisasi untuk terbangunnya regenerasi yang berujung suksesi manuthun bil maslahah. Sesuatu yang jamak terjadi alias alamiyah. Para Sahabat mengambil model kepemimpinan Nabi, yang lalu dilanjutkan oleh Tabi’in–para murid Sahabat. Para murid Sahabat membangun jaringan sehingga lahir para Atba’ Tabi’in.
Khidmah kiai
Begitu pula yang terjadi di lingkungan NU. Regenerasi kepemimpinan berlangsung natural dan tradisional. Secara kasat mata, seperti tidak terkonsep. Sejarah keterpilihan H Hasan Gipo, Ketua Umum pertama PBNU, jauh dari persyaratan tertentu dan kualifikasi khusus. Beliau seorang pedagang yang tajir. Dekat dengan KH Wahab Hasbullah; salah seorang pendiri NU. Cakap mengelola organisasi. Yang khas adalah dia pengabdi para kiai.
Demikian yang dialami para suksesornya, yaitu KH Idham Chalid, KH Abdurrahman Wahid, KH A Hasyim Muzadi dan KH Said Aqil Siradj. Semua duduk di kursi Ketua Umum atas dasar like, tidak ada unsur dislike. Di-like para kiai, terutama majelis syuriyah dan kiai sepuh. Like di sini bermakna restu. Restu kiai itu modal utama. Kenapa mereka dapat restu? Karena ketulusan khidmah yang panjang kepada ulama.
Nama-nama seperti Said Agil Husin Al Munawar, As’ad Said Ali, Masdar Farid Mas’udi, Nasaruddin Umar, Said Aqil Siradj, adalah contoh para pengabdi kiai. Kebiasaan, kegemaran dan ketulusan mengabdi, terbagun sejak belia, sejak di keluarga, ranting hingga pengurus pusat. Hal ini jamak dialami semua nahdliyin–warga NU. Jaringan santri dengan kiainya di sudut-sudut kampung, adalah entitas kecil NU paling bawah. Ikatan Cinta dunia akhirat.
Itulah kenapa suka muncul adagium, NU adalah oraganisasi keagamaan dan kemasyarakatan/keumatan. Urusannya agama dan umat. Umat itu urusannya dunia akhirat. Maka jalinan batin antara kiai, ulama, habaib, dengan umatnya di NU, berlangsung dunia akhirat. Kalau ada pasangan berjanji sehidup semati, maka hubungan ulama dengan umat tak terputus karena ajal. Lihatlah, betapa tahlilan, manaqiban, barzanjian, diba’an, yasinan, istighotsah, sholawatan, maulidan, selalu ramai. Itulah ajang temu dua alam, dunia dan barzakh.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Nurman Abdul Rahman