Maulana Syekh Yusri hafidzahullah Ta’ala wa ro’ah menjelaskan dalam pengajian kitab Bahjat Annufusnya, di dalam sebuah hukum syari’at, ada yang bisa diketahui sebuah illahnya (alasanya), dan adapula yang tidak kita ketahuinya, yaitu yang dinamakan dengan ta’abbudi. Masing-masing dari hukum yang illahnya rasional ataupun yang irasional, pastilah memiliki hikmah dari Allah Ta’ala.
Adapun yang pertama adalah sebagaimana Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa baginda Nabi SAW bersabda:
“إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَلاَ يَسْتَنْجِى بِيَمِينِهِ وَلاَ يَتَنَفَّسْ فِى الإِنَاءِ”
yang artinya “ Ketika salah satu diantara kalian membuang hajat kecil, maka janganlah memegang kemaluan dengan tangan kanannya, dan janganlah cebok dengan tangan kanannya, dan janganlah bernafas di dalam tempat minum “(HR. Bukhari).
Dalam hadits ini Imam Abu Jamrah RA mengomentari, bahwa larangan baginda Nabi SAW untuk tidak memegang kemaluan serta cebok ketika membuang hajat dengan menggunakan tangan kanan, oleh karena tangan kanan digungakan untuk makan dan minum, juga yang sepadannya, sedangkan tangan kiri digunakan untuk sebaliknya, yaitu untuk membersihkan hajat yang keluar setelah makan dan minum.
Dan juga, sebagaimana Ahlul Yamin (orang-orang golongan kanan) di akhirat nanti adalah para penghuni sorga dengan segala kenikmatannya, maka Allah Ta’ala menjadikan kanan ini untuk sesuatu yang sesuai dengannya. Sedangkan Ahli syimal ( orang-orang golongan kiri) di akhirat adalah para penghuni neraka, yaitu orang-orang yang berdosa dan ahli maksiat, maka Allahpun menjadikan kiri ini untuk sesuatu yang kotor dan najis seperti mereka. Sebagaimana para ulama ahli tasfir mimpi mengatakan, bahwa orang yang melihat sesuatu yang najis dalam mimpinya, maka hal ini menunjukkan kemaksiatan.
Syekh Yusri mencontohkan, orang yang bermimpi muntah maka dirinya sedang berada dalam sebuah kemaksiatan, sehingga harus segera sadar dan bertaubat. Adapun illah (alasan) yang tidak diketahui oleh para ulama atau ta’abbudi, seperti halnya hukum membasuh tempat yang dijilat anjing dengan tujuh kali basuhan dan yang sekali dicampur dengan tanah, jumlah rakaat dalam setiap shalat fardhu, serta urutannya.
Pada hadits diatas juga mengisyaratkan, bahwa yang dikehendaki dari seorang mukallaf adalah meyakini adanya hikmah pada setiap hukum Allah untuk hambaNya dan mengikutinya dengan segala ketundukannya sebagai seorang hamba kepada Sang Penciptanya. Sebagaimana baginda Nabi SAW memulai sa’inya dengan bukit shafa menuju bukit marwah, mengikuti firman Allah:
“إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ”
yang artinya “ Sesungguhnya bukit shafa dan marwa adalah diantara syi’ar-syi’ar Allah”(QS. Albaqarah: 158).
Meskipun huruf “و” di dalam bahasa Arab tidak memberikan makna berurutan, yang mana dalam hal ini baginda bersabda “نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ فَبَدَأَ بِالصَّفَا ”yang artinya “ kita memulai dengan apa yang telah Allah mulai dengannya, maka baginda Nabi memulai dengan bukit Shafa “(HR. Abu Dawud). Wallahu A’lam.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin