Maulana Syekh Yusri hafidzahullah Ta’ala wa ro’ah dalam pengajian kitab Bahjat Annufusnya menjelaskan, bahwa nilai seseorang di dunia ini adalah bergantung kepada sejauh mana dirinya dalam menyempurnakan pekerjaan atau profesinya (profesionalisme). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ahli hikmah:
“ قِيْمَةُ الْمَرْءِ فِيْمَا يُتْقِنُهُ”
yang artinya “ nilai seseorang ada pada sesuatu yang ia sempurnakan“.
Maka ketika seorang yang sakit hendak berobat kepada seorang dokter, sedangkan dia memiliki dua pilihan, yang satu dokter islam akan tetapi kurang ahli dan yang satunya dokter non muslim akan tetapi lebih ahli dalam bidangnya, maka hendaknya memilih dokter yang lebih profesioanal. Dan islampun tidak melarang untuk bermu’amalah dengan non muslim, sebagaimana bagida Nabi SAW menyewakan tanah khaibar kepada bangsa Yahudi dengan bayaran separuh dari hasilnya. Bahkan bagindapun menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi untuk mendapatkan pinjaman sekantong gandum ketika akhir hayatnya.
Adapun nilai seseorang di akhirat nanti adalah bergantung kepada apa yang telah dirinya ikhlaskan dari amal ketaatannya. Keikhlasan adalah sesuatu yang dihasilkan dari nilai ketaqwaan yang ada dalam hatinya. Maka dari itulah Allah berfirman :
“إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ”
yang artinya “ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian “(QS. Al Hujurat:13).
Hal ini adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya, bahwa:
“أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “
yang artinya “ orang yang paling beruntung atas syafa’atku di hari kiamat nanti adalah orang yang berkata :”tidak ada Tuhan selain Allah” dengan penuh ketulusan dari dalam jiwanya “(HR. Bukhari).
Imam Abu Jamrah RA mengomentari hadits di atas, bahwa orang yang menyampuri keimanannya dengan penyakit hati, maka tidaklah akan bahagia, oleh karena baginda Nabi SAW mensyaratkan adanya keikhlasan dalam keimanannya. Penyakit hati disini seperti halnya tidak adanya keridhaan terhadap pembagian Allah Ta’ala untuk dirinya, cinta kedudukan, iri dan dengki, tambah Syekh Yusri.
Allah Ta’ala telah berfirman :
“فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا”
yang artinya “ Maka barang siapa yang menghendaki untuk bertemu dengan Tuhannya, maka beramal salihlah dan jangan menyekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya dengan siapapun”(QS. Al Kahfi:110). Beribadah kepada Allah tidak karena mengharap sorga atapun takut kepada neraka, akan tetapi semata-mata sebagai bentuk ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Dzat yang telah menciptakannya. Wallahu A’lam.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
As'ad Syamsul Abidin