Pedagang melayani pembeli di pasar tradisional kawasan Tebet, Jakarta, Jumat (5/8). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan peningkatan konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia pada triwulan II-2016 yang tumbuh hingga 5,18 persen (yoy). Konsumsi rumah tangga itu didukung oleh pemberian gaji 13 dan 14 oleh pemerintah yang dimanfaatkan pada perayaan Lebaran serta sebagai persiapan dalam menghadapi tahun ajaran baru. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah menyoroti tingkat konsumsi rumah tangga yang melambat sepanjang kuartal III 2021. Menurutnya, hal ini menjadi tantangan pemerintah untuk mendorong sektor penyumbang terbesar PDB Nasional.

Konsumsi rumah tangga pada kuartal III 2021 masih tumbuh 1,03 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal II 2021 sebesar 5,96 persen (yoy), dan secara kumulatif sepanjang tiga kuartal pada 2021 hanya tumbuh 1,5 persen.

“Memperhatikan atas pencapaian ekonomi kita hingga kuartal III 2021 ini, maka saya menyarankan pemerintah dan otoritas keuangan untuk fokus terhadap beberapa hal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi setidaknya pada kisaran 3-4 persen di sepanjang tahun 2021,” ujar Said dalam keterangan di Jakarta, Rabu (10/11).

Said menyampaikan sektor riil akan bergerak membaik apabila ada permintaan dari konsumen. Konsumen terbesar dari PDB Indonesia adalah rumah tangga. Rumah tangga bawah tentunya berat untuk diharapkan belanjanya meningkat.

“Apalagi mereka sangat bergantung berbagai program perlindungan sosial dari pemerintah dan gotong royong sosial untuk tidak jatuh ekonominya. Harapan tingkat konsumsi meningkat tentu dari rumah tangga menengah atas,” kata Said.

Ia berharap Bank Indonesia mempertahankan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang digulirkan sejak Maret 2021 tentang Loan to Value (LTV) dan Financing to Value (FTV) atau uang muka dan pembiayaan terhadap kredit properti dan kendaraan bermotor. Melalui kebijakan itu, BI melonggarkan LTV dari 90 -100 persen dan uang muka kendaraan bermotor dari 0-10 persen sesuai kategorinya.

Sementara dari sisi perpajakan, Said berharap Menteri Keuangan juga mempertahankan subsidi Pajak Penjualan Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) 100 persen terhadap kendaraan bermotor hingga akhir 2021.

“Kebijakan ini perlu juga ditopang oleh pemerintah daerah untuk diskon pajak BPHTP untuk properti, sehingga diskon pajak ini makin mengundang tingkat konsumsi terhadap properti makin naik,” ujar Said.

Untuk menstimulasi tingkat konsumsi rumah tangga, lanjut Said, pemerintah perlu mengembangkan kajian lebih lanjut terhadap beberapa barang dan jasa lainnya yang mendorong tingkat konsumsi rumah tangga golongan menengah atas selain properti dan kendaraan bermotor, tanpa berisiko mendalam terhadap short fall perpajakan.

“Rumah tangga menengah atas sangat ‘doyan’ traveling apalagi generasi milenial, terutama pada destinasi baru, terutama wisata alam yang tidak mengundang kerumunan. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan hulu-hilir untuk mendorong traveling ini,” kata Said.

Sedangkan untuk membangkitkan ekonomi beberapa wilayah seperti Bali dan Nusa Tenggara yang masih terkontraksi 0,09 persen pada kuartal III 2021, perlu kiranya pemerintah daerah menjalankan dan mempertahankan diskon pajak untuk kendaraan bermotor, tempat hiburan dan restoran. Selain membantu pelaku usaha, keringanan pajak daerah diharapkan menstimulasi kelas menengah atas melakukan banyak traveling.

“Pada rumah tangga menengah bawah, perlu distimulasi dengan subsidi PPN terhadap barang elektronik, terutama yang kandungan TKDN-nya lebih besar. Pemerintah perlu mempertimbangkan subsidi PPN terhadap pelajar dan mahasiswa untuk kebutuhan elektronik dalam rangka menopang Pelajaran Jarak Jauh atau PJJ yang masih diperlakukan, meskipun beberapa pemda mulai melakukan pelajaran tatap muka,” ujar Said.

Said menambahkan momentum pemulihan ekonomi saat ini harus dijaga agar rantai pasok barang dan jasa stabil, tekanan terhadap nilai tukar rupiah terjaga dengan baik, sehingga tingkat kurs stabil, serta inflasi terhadap barang dan jasa pada batas yang wajar sebagai konsekuensi atas hukum penawaran dan permintaan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
A. Hilmi