Jakarta, aktual.com – Al-Hasan bin Hani’ atau yang biasa dikenal sebagai Abu Nawas dilahirkan pada tahun 140 H. (757 M.) di desa Suuq al-Ahwaz di kawasan Khurdistan, sebelah barat laut Baghdad. Bapaknya dari bangsa Arab, sedangkan ibunya dari Persia.

Ketika Abu Nawas berumur enam tahun, sang ibu membawanya ke Basrah untuk diserahkan kepada pamannya yang kesehariannya bekerja sebagai pembuat minyak wangi. Setelah beranjak dewasa, Abu Nawas bekerja membantu pamannya itu. Setiap menyelesaikan tugas, biasanya ia langsung pergi ke masjid untuk menimba berbagai ilmu agama dan pengetahuan lainnya, baik bidang syair, fiqh, maupun hadits. Abu Nawas yang begitu bersemangat, didukung dengan pikirannya yang cukup cerdas, segera membuatnya berhubungan dekat dengan beberapa guru senior, ataupun mereka yang memahami berbagai aspek kebudayaan dan tasawuf.

Hal itu kemudian mengantarkannya bertemu dengan seorang ahli sastra yang telah menjadi pujangga kenamaan, Abu Usamah (alias Walibah bin al-Habab). Pertemuan inilah yang menjadikan syair-syair Abu Nawas menjadi terasah dan betul-betul membawa perubahan besar.

Melihat bakat Abu Nawas, Walibah merasa perlu mengajak Abu Nawas menuju Kufah, kota yang mana bidang kesusastraan relatif berkembang saat itu. Ketika telah sampai di Kufah, Abu Nawas segera membiasakan diri berkumpul dengan para ahli syair bersama Walibah. Keduanya sangat aktif memberi uraian, mengkritisi, atau merekomendasi berbagai syair lama dengan berbagai rima dan uslubnya.

Namun demikian, Abu Nawas belum puas mendapatkan semua itu di Kufah. Ia ingin menggali langsung dari sumbernya yang bertebaran di belantara Baghdad. Dengan memohon izin pada Walibah, Abu Nawas pun berangkat untuk menggapai apa yang dicita-citakan itu.

Dalam pengembaraannya itu, selain mempelajari syair, Abu Nawas juga mempelajari Al-Qur’an al-Karim pada seorang guru yang sangat berwibawa, yakni Abu Ya’qub al-Hadhramy. Baru beberapa hari saja, sang guru takjub dengan bacaannya yang begitu fasih, yang ditopang dengan adab yang begitu tinggi. Maka guru itu segera mengatakan, “Pergilah kau dari tempat ini, di sini sudah tidak ada ilmu lagi yang engkau perlukan,” Dengan tawadhu’, Abu Nawas pun berpamitan untuk meneruskan pengembaraannya, dengan mendapat penghormatan dari para murid yang lain dan diiringi doa berkah dari sang guru.

Akhirnya, Abu Nawas pun kembali ke Basrah, tempat ia menginjakkan kaki pada mula pertamanya. Di sini ia bertemu dengan Khalaf al-Ahmar, seorang pujangga yang karakter syair-syairnya dirasakan jauh berbeda dengan apa yang diajarkan guru Abu Nawas sendiri, Walibah bin al-Habab. Maka, segera saja Abu Nawas berguru kepadanya, sampai pada suatu ketika sang guru menyuruh Abu Nawas menghafal berbagai bait rajaz dan qashidah karangan para pujangga kenamaan.

Pada tahun 199 H. atau 813 M Abu Nawas wafat setelah mangkatnya baginda al-Amin.

Begitulah kehidupan Abu Nawas dengan segala kejenakaan dan kritikannya yang pedas. Ia merupakan figur yang tidak suka membela berbagai kepentingan busuk, tidak pula fanatik pada sebuah golongan dan memiliki perasaan (sense) yang amat peka. Ia seorang yang beriman kepada Allah dengan iman yang begitu dalam. Hatinya menjadi simpanan kehalusan syairnya. Maka, tidak mengherankan jika nama Abu Nawas akan kekal sebagai mana kekalnya bahasa Arab dalam mengurai kemerdekaan berkreasi dan berpikir.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain