Jakarta, aktual.com – Pemberitaan yang dimuat media Reuters pada 14 November 2021 tentang Puluhan kapal asing yang ditahan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dapat bebas setelah membayar uang sebesar 250.000-300.000 dollar AS atau sekitar Rp 3,6 miliar hingga Rp 4,3 miliar kepada salah satu anggota TNI AL. Pemberitaan tersebut diambil dari sebuah laporan Lloyd’s List Intelligence, sebuah situs web industri.
Kabar berita tersebut langsung membuat geram petinggi TNI AL, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono. Bahkan KSAL, Yudo berkata keras untuk membuktikan soal pembayaran sejumlah uang tersebut kepada perwira TNI AL.
“Kalau ada isu seperti itu, silakan buktikan, siapa yang dikasih itu, jadi jangan hanya menyampaikan isu yang tidak jelas. Apabila perwira TNI AL benar meminta bayaran, hal itu seharusnya jelas siapa dan pangkatnya apa, termasuk tempat berdinasnya,” kata Yudo, setelah menjadi inspektur upacara di HUT Ke-76 Korps Marinir TNI Angkatan Laut di Lapangan Brigif 1 Marinir, Kesatrian Marinir Cilandak, Senin (15/11).
Terkait pemberitaan adanya “uang pelican tersebut” tersebut juga mendapat tanggapan dari Pengamat Maritim yang juga Pendiri dari Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar. Menurutnya, laporan soal adanya uang untuk pembebasan yang diberikan kepada korps TNI AL termasuk kategori berita yang tidak dapat dipercayainya.
“Soal laporan yang jadi pemberitaan itu tentang TNI AL menerima uang miliaran untuk pembebasan kapal-kapal yang ditahan, saya tidak mempercayainya dan saya kategorikan berita hoax,” tegas Capt. Hakeng dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (22/11)
Dikatakannya lebih lanjut, bahwa santernya pemberitaan itu bisa saja sebagai salah satu black campaign (kampanye hitam) dari negara asing. “Ini patut diduga sebagai “black campaign” dari perusahaan-perusahaan pelayaran asing atau pihak-pihak yang terimbas dari penegakan hukum terkait berlabuh secara ilegal (illegal anchoring) di teritorial Indonesia oleh TNI AL sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang undangan RI . Saya justru mendukung 100% langkah GakHUm yang dilaksanakan oleh TNI AL,” tegasnya.
Tindakan yang dilaksanakan aparat TNI AL menangkapi kapal-kapal yang berlabuh secara ilegal di perairan Indonesia dekat Singapura, sudah sesuai aturan yang berlaku, karenanya justru sebagai Rakyat Indonesia, kita harus mendukungnya.
Menurut Capt. Hakeng boleh jadi juga ada ketidakpahaman dari banyak pihak (termasuk Nakhoda, Awak Kapal dan pemilik Kapal), di mana Outside Port Limit (OPL) itu sebagian sudah masuk ke teritorial negara Indonesia.
“Tindakan penangkapan yang dilakukan oleh TNI AL tidak dapat dikatakan salah. Hal tersebut juga jelas diakui oleh pihak Singapura, sebab dalam ketentuan yang terdapat dalam Maritime Port Authority (MPA) yang dikeluarkan oleh otoritas Singapura, menyatakan bahwa jika kapal melego jangkar atau berlabuh di OPL dapat membahayakan navigasi serta ada kemungkinan posisinya memasuki wilayah Republik Indonesia,” katanya.
Saya justru memiliki kecurigaan bahwa patut diduga kapal-kapal tersebut melakukan kegiatan bongkar muat dulu sebelum memasuki pelabuhan tujuannya. Hal itu dilakukan ada kemungkinan untuk menghindari pembayaran pajak yang telah ditetapkan oleh otoritas pelabuhan.
Lebih lanjut Capt. Hakeng menyebutkan dirinya sangat mendukung tindakan yang dilakukan oleh TNI AL yang menjalankan tugas sebagai penjaga teritorial kedaulatan negara dari masuknya kapal asing ke wilayah laut Indonesia di luar prosedur yang berlaku. Justru jika kejadian ini didiamkan maka bisa membahayakan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Capt. Hakeng juga memberikan saran agar dalam perihal menjaga kedaulatan negara ini, bisa selalu memaksimalkan peran para nelayan serta para pelaut Indonesia.
“Jadikan dan libatkan para Nelayan dan Pelaut Indonesia sebagai ‘Agen Bangsa’ dalam mengawasi 2/3 wilayah Indonesia ini, dengan demikian maka secara tidak langsung para Nelayan dan Pelaut tersebut akan menjadi mata serta telinga bagi memastikan kedaulatan negara Indonesia tetap terjaga. Di sini sebetulnya esensi Pasal 30 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen kedua, yaitu sistem Hankamrata diterapkan terutama dalam dunia Maritim. Kapal-kapal asing yang ingin melakukan kegiatan-kegiatan illegal wilayah Indonesia dapat dipantau dan dapat segera dilaporkan oleh para Nelayan dan Pelaut Indonesia yang melihatnya. Dengan begitu pula kedaulatan negara, kedaulatan pangan, dan kelestarian ekosistem laut Indonesia dapat terjaga dengan sendirinya,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain