Saudaraku, mengamalkan Pancasila itu seperti memenuhi pesan shalat (sembahyang): dimulai dengan meninggikan Tuhan–takbiratul ihram–(Ketuhanan) sebagai gantungan integritas, diakhiri dengan menebar salam damai sejahtera ke kanan dan ke kiri (Keadilan).

Dalam shalat, jalan menuju Ketuhanan dan kemanusiaan itu ditempuh secara berkelindan. Perjumpaan antara gerak transendental dan eksistensial itu menerbitkan energi positif yang meninggikan kesadaran hikmat-kearifan dan meluaskan pengamalan kasih-kebajikan.

Terpancarlah fajar rasa syukur terlahir dan tumbuh di negeri swarnadwipa; dengan nusa emas yang teruntai zamrut katulistiwa. Di negeri molek ini, langit tinggi terbentang julangkan spirit ketuhanan. Lautan luas terkembang lapangkan rasa kemanusiaan. Keanekaragaman hayati kuatkan semangat persatuan. Biru langit-samudera luas dan dalam bijakkan musyawarah kerakyatan. Kekayaan alam dan kesuburan bumi makmurkan kesejahteraan berkeadilan.

Manakala kehidupan dijalani secara terbalik, dengan mengingkari dan merusak karunia nikmat. Pemimpin dan warganya durhaka pada Tuhan dan ibu pertiwinya. Prahara pun menimpa kita.

 

Makrifat Pagi, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin