Jakarta, Aktual.co — Mantan Kepala BP Migas (saat ini SKK Migas) Raden Priyono membantah informasi yang menyebutkan bahwa BP Migas pro terhadap kepentingan asing.

“Saya tidak ingin mengoreksi lagi soal putusan MK. Tapi saya menanggapi bahwa diinformasikan jika BP Migas itu pro asing padahal suatu jurnal profesional McKenzie mengatakan bahwa pada 2008 BP Migas ini sudah banyak membuat kebijakan yang menyulitkan asing,” kata Priyono dalam diskusi di Kampus Unika Atma Jaya, Jakarta, Rabu (25/2).

Sehingga, lanjutnya, pada tahun 2008 itu juga Indonesia berada di posisi nomor 24 dunia sebagai negara yang diuntungkan oleh industri migasnya. Lalu pada tahun 2012, Indonesia menjadi nomor lima negara yang diuntungkan dari industri migasnya.

“Ironisnya, pada saat itu juga BP migas ditumbangkan, disaat dunia internasional mengatakan indonesia ini sangat nasionalis,” ujarnya.

Selain itu, Priyono juga menuding bahwa di era Pertamina-lah banyak perusahaan asing yang masuk ke Tanah Air, bukan dalam era BP Migas. Termasuk dalam perpanjangan kontraknya.

“Dikatakan bahwa, pada era migas inilah asing masuk. Nah ini merupakan suatu pergelinciran fakta. Semua perusahaan migas asing itu masuknya jaman Pertamina, dan waktu perpanjangan kontraknya juga itu jaman Pertamina. Para praktisi juga malah mempertanyakan mengapa pada saat perpanjangan blok-blok minyak asing ini Pertamina tidak mengambil sebagian kok diteruskan lagi. Nah kita dapat warisan seperti itu dari pertamina. Menyedihkan kan ini,” jelasnya.

Selain itu, Pri juga menyebut bahwa hal yang lebih menyedihkan adalah ketika BP Migas mendapatkan penurunan produksi yang luar biasa besarnya, yaitu dari 1,6 juta barel per hari, turun terus sebanyak 22 persen.

“Lalu BP migas yang berusaha menahan. Tahun 2008, itu bisa ditahan Mulai dari 4 persen, 3 persen, hingga 2 persen penurunannya. Sebenarnya pada tahun 2012 itu sudah bisa menembus 1 juta barel per hari tapi sayangnya tahun itu terjadi ‘petik’ sehingga turun menjadi 65 ribu barel satu hari padahal sedang dalam proses naik waktu itu. Ada yang kabel dibakar, ada yang fasilitas operasional mendadak rusak, dan itu seperti satu kebetulan. Karena tidak bisa menembus 1 juta disitulah mulai turun lagi, itu latar belakangnya politik juga,” terang dia.

“Nah inilah yang seakan-akan sepenuhnya salah BP Migas. Tapi itulah politik,” sebutnya.

Menurutnya, dalam dunia industri Minyak Migas, selain berkaitan dengan masalah teknis, juga tidak terlepas dari permasalahan politik.

“Kalau bicara migas itu tidak lepas dari persoalan politik, masalah ekonomi dan teknis geologi itu sendiri. Tapi tidak apa-apa, ini pembelajaran. Tapi saya senang, saya sudah abdikan diri saya pada negara tapi rupanya tidak diapresiasi, namun dunia internasional yang mengapresiasi,” tandas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka