Jakarta, Aktual.com – Indonesia harus secara konsisten mengabaikan klaim sepihak China di Natuna, termasuk saat menyikapi protes China soal pengeboran minyak di Natuna, kata anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani.
“Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak China atas nine dash line atau sembilan garis putus-putus (pada peta) dan karenanya tidak perlu menanggapi protes-protes tanpa dasar hukum tersebut,” kata Christina dalam sebuah pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (3/12).
China mengklaim bahwa perairan Natuna, Kepulauan Riau, masuk dalam wilayah nine dash line, yang dibuat sendiri oleh China dengan dasar historis untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan.
Nine dash line dibuat secara sepihak oleh China tanpa mematuhi aturan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 di mana China tercatat sebagai negara pihak penandatangan konvensi tersebut.
“Sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 bahwa ujung selatan Laut China Selatan merupakan bagian dari zona ekonomi ekslusif (ZEE) Indonesia, yang sejak 2017 kita namakan sebagai Laut Natuna Utara,” ujar Christina.
Berdasarkan ketentuan Pasal 56 UNCLOS 1982 tentang Hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban negara pantai dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE), Indonesia mempunyai hak untuk melakukan kegiatan ekplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam di perairan Natuna.
“Kami juga menyakini Kemenlu RI sudah dan akan terus melakukan langkah-langkah diplomatik terukur untuk menyikapi hal ini,” katanya.
Namun, Christina juga mendorong Pemerintah RI untuk lebih memperkuat kehadiran Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI di perairan Natuna, khususnya untuk menjalankan tugas-tugas pengamanan terhadap kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi sumber daya alam di ZEE.
“Kehadiran negara dalam berbagai bentuk di wilayah ZEE harus diintensifkan sebagai penangkal klaim-klaim sepihak negara lain,” ujarnya.
Sebelumnya, China memprotes dan meminta Indonesia menghentikan eksplorasi pengeboran minyak dan gas di Natuna, yang merupakan kawasan yang diklaim sepihak oleh Beijing sebagai bagian dari teritorinya di Laut China Selatan.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
As'ad Syamsul Abidin