Makassar, Aktual.com – Kabupaten Kepulauan Selayar yang letaknya terpisah dari Pulau Sulawesi, khususnya di ujung kaki huruf “K” Pulau Sulawesi di wilayah Sulawesi Selatan, mungkin hanya sedikit yang mengenal dan pernah mengunjunginya.
Namun saat terjadi gempa berkuatan 7,4 magnitudo di wilayah perairan Nusa Tenggara Timur pada Selasa (14/12), perhatian tersedot ke Kabupaten Kepulauan Selayar yang menjadi salah satu daerah terdampak gempa dan menyebabkan sedikitnya 3.000 warga Selayar mengungsi, karena sebagian rumahnya rusak.
Pemberitaan media massa dan informasi yang tersebar melalui media sosial, menyebabkan seketika Kabupaten Kepulauan Selayar menjadi dikenal banyak orang.
Padahal sebelumnya, Selayar hanya dikenal oleh wisatawan dan komunitas pecinta wisata bahari dengan keindahan bawah lautnya di Taman Laut Nasional Takabonerate yang disejajarkan dengan TNL Bunaken di Manado, Sulawesi Utara.
Selain itu, pecinta barang antik dan bersejarah, mungkin Selayar sudah tidak asing baginya, karena daerah ini kaya dengan sejarah dan peninggalan purbakalanya.
Namun ketika menyebut salah satu dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan ini, pernah ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai salah satu Desa Mandiri Energi (DME), karena memiliki potensi sumber Bahan Bakar Nabati (BNN), hanya segelintir orang saja yang tahu.
Kabupaten Kepulauan Selayar terletak di ujung selatan Pulau Sulawesi dan seluruh wilayahnya terpisah dari daratan Sulawesi. Wilayah ini terdiri dari gugusan 132 buah pulau yang membentuk wilayah Kepulauan Selayar dan berpusat di Kota Benteng.
Dari sekitar 70 ribu desa yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia, desa di Kabupaten Kepulauan Selayar adalah di antaranya dan sebagian desanya masuk dalam 45 persen kategori Desa Tertinggal yang ditandai dengan terbatasnya akses masyarakat terhadap energi.
Menyikapi hal tersebut, Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai departemen teknis yang menangani energi menggagas pelaksanaan program Desa Mandiri Energi (DME) yaitu, program penyediaan energi dengan memanfaatkan potensi energi setempat baik berbasis Bahan Bakar Nabati (BBN) maupun non-BBN dengan teknologi yang dapat dioperasikan oleh masyarakat setempat.
Program DME dimaksudkan untuk sebagai “entry point” dalam kegiatan ekonomi pedesaan pertama kalinya diluncurkan oleh Presiden RI di Desa Grobogan, Jawa Tengah pada 2007 dan terus dilanjutkan di desa-desa lainnya.
Hingga akhirnya Program DME itu pun mampir di Kabupaten Kepulauan Selayar dengan Ibukota Benteng sebagai bagian dari 850 DME pada 2009-2010 dan ditargetkan hingga akhir 2014 nanti ditargetkan terbentuk 3.000 DME.
Dalam perkembangannya, Program DME mulai memanfaatkan teknologi energi baru terbarukan seperti, mikrohidro, angin dan surya sebagai pembangkit energi alternatif.
Pada saat itu dikenal dengan istilah “Desa Energi Terbarukan” yang kemudian membawa nama Indonesia ke tingkat ASEAN dengan sejumlah pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) yang berhasil menjadi percontohan di tingkat regional ASEAN seperti PLTMH Cicurug Garut dan PLTMH Malang.
Desa Energi Terbarukan merupakan cikal bakal DME sebagai alternatif pemecahan masalah penyediaan energi di lapangan.
Tentunya dengan tiga misi yang mengekor di belakanganya yakni Program DME diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan (Pro-Poor), memperkuat ekonomi nasional (Pro-Growth) dan memperbaiki lingkungan (Pro-Planet).
Tentu tiga misi itu juga diharapkan mampir di Kabupaten Kepulauan Selayar yang memiliki 132 pulau kecil berpenghuni dan tak berpenghuni dengan jumlah penduduk sekitar 130.199 jiwa pada 2020 dan sebagian besar bermukim di Kota Benteng.
Sedangkan kondisi topografi Kepulauan Selayar dengan Ibukota Benteng ini memanjang utara – selatan dengan panjang pulau sekitar 100 kilometer, dan lebar pulau ±15 km.
Pesisir timur umumnya berbukit dan terjal dan sepanjang pantai banyak dijumpai teluk, sedangkan pesisir barat pulau umumnya datar, landai, sampai berbukit yang menjadi lahan pemukiman hampir 100 persen penduduk Pulau Selayar.
Ketika program Kementerian ESDM menyambangi warga Kepulauan Selayar 2009 – 2010, harapan baru bagi warga yang banyak bergelut di sektor pertanian, khususnya yang tak jauh dari wilayah pesisir.
Tanaman jenis mangrove yang dikenal dengan nama nyamplung — penamaan di Pulau Jawa– memiliki nama latin Calophyllum inophyllum ini, mulai diperkenalkan dan dikembangkan, meski awalnya hanya dikenal sebagai tanaman liar yang tumbuh di kawasan hutan tak jauh dari pesisir.
Kehadiran tanaman nyamplung yang lebih dikenal dengan nama “Dongkalang” ini di Selayar, akhirnya menjadi sumber tambahan penghasilan dari biji-biji nyamplung yang dikumpulkan warga di hutan untuk kemudian dijual sebagai bahan baku pembuatan BBN biodiesel.
Ketika itu, satu kilogram biji nyamplung dibeli seharga Rp1.000 per kilogram oleh pihak pengelola minyak BBN atau biofuel (biodiesel) di bawah binaan Kementerian ESDM.
Karena itu, menurut warga Pulau Selayar Adri Taufik, disela pekerjaan harian warga yang umumnya sebagai petani, setiap hari menyempatkan diri bersama keluarganya untuk memungut buah nyamplung di hutan.
Euforia untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari biji nyamplung itu menjadi fenomena baru. Apalagi Kepala Badan Litbang Departemen Kehutanan Syahrir Fathoni saat berkunjung di Makassar ketika itu melansir bahwa potensi Sulsel sangat besar dengan 1.742 hektare lahan pohon nyamplung yang siap tumbuh alami di Selayar.
Karena itu, Kementerian ESDM kemudian menindaklanjuti dengan membangun pabrik pengolahan biji nyamplung berkapasitas produksi 250 liter per hari.
Sementara Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo pada medio 2010 menyatakan mendukung penuh pengembangan tanaman nyamplung dan pembangunan pabrik pengolahan biji nyamplung menjadi minyak biodiesel.
Alasannya, karena minyak nabati ini bisa langsung digunakan, tanpa harus dicampur dengan bahan lain seperti pada jenis BBN lainnya dan kelak Kepulauan Selayar dapat menyandang status DME, karena mampu memenuhi kebutuhan bahan bakarnya sendiri.
Sebelum uji coba pengolahan minyak biodiesel di Selayar, proses serupa telah diuji coba di tiga lokasi di Pulau Jawa yakni di Kabupaten Purworejo, Kebumen dan Banyuwangi.
Potensi Nyamplung
Tanaman nyamplung merupakan tanaman berkayu dengan tinggi pohon dapat mencapai 25 meter dengan diameter 150 centimeter.
Morfologi tanaman nyamplung ini dengan batang berkayu, kulit batang beralur dan mengelupas besar-besar, biasanya dijadikan oleh warga sebagai bahan untuk membuat perahu atau rumah kayu.
Sedang daunnya yang berbentuk bulat memanjang, pangkal membulat dan pertulangannya menyirip. Biji nyamplung yang berbentuk bulat dengan kulit tebal dan keras dengan diameter 2,5-4 cm, daging biji tipis dan biji kering yang dapat tahan selama satu bulan, inti biji mengandung minyak berwarna kuning kecoklatan (Bustomi, et al., 2008).
Peneliti pada Balai Besat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) Prof Budi Leskono mengatakan, pohon nyamplung yang toleran terhadap lahan kritis ini, dapat berbuah sepanjang tahun dengan produksi mencapai 50-150 kilogram per pohon per tahun.
Dia mengatakan, pihaknya sudah melakukan penelitian 12 populasi nyamplung yang tersebar di delapan pulau di Indonesia. Salah satunya di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Pemanfaatan biji nyamplung, termasuk kegunaan limbahnya hingga teknik budi daya sudah diketahui. Hanya saja, belum ada benih unggul dengan produktivitas tinggi untuk mendukung budidaya nyamplung di lapangan.
Potensi nyamplung sebagai sumber energi alternatif sangat besar karena produktivitasnya lebih tinggi dari tanaman jarak, sehingga pemerintah daerah harus berkolaborasi mengembangkan.
Apalagi setelah diketahui dari analisis di Laboratorium Fitokimia Biologi Farmasi oleh Budi Leksono beserta Tim Penelitian Nyamplung pada 2012 bahwa minyak nyamplung (tamanu oil) mengandung kumarin.
Kandungan dan khasiat lain dari tamanu oil mulai digali dengan menggunakan sampel biji yang berasal dari delapan pulau di Indonesia dan akhirnya diketahui bahwa selain sebagai sumber energi alternatif, juga sebagai bahan kosmetik dan obat.
Hal itu dibenarkan peneliti muda asal Balai Besar Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar C Andriyani Prasetyawati.
Pihaknya kurang lebih dua tahun telah melakukan penelitian tanaman nyamplung di kawasan Kepulauan Selayar.
Potensi nyamplung di Selayar sangat besar, hanya saja hingga kini kurang dikembangkan masyarakat, karena kendala pemasaran. Selain itu, pabrik pengolahannya juga rusak, sehingga tidak dapat digunakan mengolah BBN.
Karena itu, diharapkan ada keseriusan pemerintah setempat untuk membantu mengembangkan potensi nyamplung sebagai sumber ekonomi baru bagi warga Selayar, maupun sebagai sumber energi alternatif dalam mendukung bauran Energi Baru Terbarukan (EBT).
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Dede Eka Nurdiansyah