Jakarta, Aktual.com – Berdasarkan data di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), ada 121 perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disidangkan sepanjang 2021.
Ke-121 itu berasal dari perkara baru pada 2021 sebanyak 93 kasus dan sisa perkara 2020 adalah sebanyak 28 kasus. Hingga akhir tahun 2021, sudah ada 71 perkara yang diputus sehingga menyisakan 50 kasus lagi yang harus diselesaikan majelis hakim PN Jakpus yang juga menjadi lokasi pengadilan Tipikor Jakarta.
Dari perkara-perkara kasus korupsi setidaknya ada 10 kasus yang cukup menarik perhatian baik karena nilai kerugian negara yang besar, melibatkan tokoh-tokoh terkenal, mendapat sorotan media hingga menunjukkan “kekalahan” jaksa membuktikan dakwaannya. Berikut kasus-kasus tersebut.
1. Perkara jaksa Pinangki Sirna Malasari
Jaksa Pinangki Sirna Malasari dijatuhi vonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan di pengadilan Tipikor Jakarta pada 8 Februari 2021.
Majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta menilai Pinangki terbukti melakukan tiga dakwaan yaitu pertama, menerima suap 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus “cessie” Bank Bali Djoko Tjandra; kedua, melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036; ketiga, melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking dan Djoko Tjandra dengan menjanjikan sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra.
Saat membacakan putusan, ketua majelis hakim yaitu Ignatius Eko Purwanto mengatakan Pinangki ingin menggunakan “king maker” untuk mengurus perkara Djoko Tjandra.
Sosok “king maker” itu ditemukan dalam komunikasi percakapan “WhatsApp” antara nomor Pinangki dengan Anita Kolopaking dan juga tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi bernama Rahmat. Namun sayangnya Pinangki, Anita Kolopaking, Rahmat dan Djoko Tjandra tutup mulut di persidangan tentang siapa sosok “king maker” tersebut.
Meski begitu, hakim sepakat dengan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung bahwa “action plan” yang dipersiapkan Pinangki dan rekan-rekannya agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi mencantumkan nama Jaksa Agung ST Burhanuddin dengan inisial “BR” dan mantan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dengan inisial “HA”.
Selain itu, hakim menyebut Pinangki terbukti terlibat dalam pengurusan grasi pada 2019 untuk mantan Gubernur Riau Annas Maamun sebagai terpidana perkara suap alih fungsi hutan.
2. Perkara mantan Sekretaris MA Nurhadi
Pada 10 Maret 2021, majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan kepada Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono karena terbukti menerima suap sejumlah Rp35,726 miliar serta gratifikasi dari sejumlah pihak sebesar Rp13,787 miliar.
Meski terbukti menerima suap dan gratifikasi, namun Nurhadi dan Rezky sama sekali tidak diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp83,013 miliar subsider 2 tahun penjara sebagaimana tuntutan JPU KPK.
Menurut majelis hakim yang dipimpin Saifuddin Zuhri, alasannya adalah karena uang yang diterima adalah uang pribadi yang bukan uang negara sehingga majelis berkesimpulan tidak ada kerugian negara.
JPU KPK menyebut Nurhadi dan Rezky menerima suap sejumlah Rp45,726 miliar, namun majelis hakim memutuskan yang terbukti hanyalah sebesar Rp35,726 miliar. Sedangkan gratifikasi yang terbukti adalah senilai Rp13,787 miliar, berbeda dari tuntutan JPU KPK yang menyatakan keduanya menerima sebesar Rp37,287 miliar.
3. Perkara Djoko Tjandra
Terpidana kasus “cessie” Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan oleh majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta pada 5 April 2021.
Hakim menilai Djoko Tjandra terbukti menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar 500 ribu dolar AS, suap senilai 370 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura kepada Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte serta 100 ribu dolar AS kepada Brigjen Prasetijo Utomo.
Tujuannya adalah agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009. Djoko Tjandra diketahui sudah buron dan berpindah-pindah negara sejak 2009.
Napoleon Bonaparte menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri sedangkan Prasetijo Utomo adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri. Keduanya diberi suap agar mengecek status “red notice” serta membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.
Selain menyuap tiga orang penegak hukum, Djoko Tjandra juga dinilai terbukti melakukan permufakatan jahat bersama Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking untuk mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung dengan Djoko Tjandra sepakat membayar biaya 10 juta dolar AS.
4. Perkara Maria Lumowa
Pengendali PT Sagared Team dan Gramarindo Group Pauliene Maria Lumowa divonis 18 tahun penjara ditamah denda Rp800 juta subsider 4 bulan kurungan serta wajib membayar uang pengganti sebesar Rp185,822 miliar pada 24 Mei 2021.
Maria Pauliene diketahui buron sejak 2003 dan baru ditangkap oleh Kementerian Hukum dan HAM lewat jalur ekstradisi dari Serbia pada 9 Juli 2020 lalu.
Ia terbukti melakukan korupsi pencairan L/C (letter of credit atau surat utang) memakai dokumen fiktif ke Bank BNI 46 sehingga menyebabkan kerugian negara senilai Rp1,214 triliun dan tindak pidana pencucian uang.
Maria menggunakan perusahaan lain untuk mencairkan L/C dalam mata uang dolar AS dan euro dengan dokumen fiktif dalam beberapa tahap dan seluruhnya disetujui.
Atas perbuatannya, ia mendapat keuntungan sebesar sebesar 2.709.554,1 dolar AS dan Rp234.341.393.
5. Perkara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo
Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subisider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
Berdasarkan putusan yang dijatuhkan pada 15 Juli 2021, Edhy Prabowo juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti sejumlah 9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS subsider 2 tahun penjara serta mencabut hak Edhy untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak ia selesai menjalani pidana pokoknya.
Dalam putusannya, terdapat seorang anggota majelis yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu hakim Suparman.
Suparman menilai Edhy Prabowo terbukti melakukan dakwaan kedua dari pasal 11 karena menilai Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan tidak ada meminta atau menyuruh bawahan meminta atau menerima sejumlah uang.
6. Perkara 13 perusahaan manajer investasi Jiwasraya
Majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta membatalkan surat dakwaan terhadap 13 perusahaan manajemen investasi pada 16 Agustus 2021.
“Mengadili, menerima keberatan atau eksepsi tentang penggabungan berkas perkara terdakwa 1, 6, 7, 9, 10, 12. Menyatakan surat dakwaan batal demi hukum, memerintahkan perkara a quo tidak diperiksa lebih lanjut,” kata ketua majelis hakim IG Eko Purwanto.
Eksepsi atau nota keberatan itu diajukan oleh 6 perusahaan investasi yaitu PT. Dhanawibawa Manajemen Investasi yang saat ini bernama PT Pan Arcadia Capital, PT. MNC Asset Management yang sebelumnya bernama PT. Bhakti Asset Management, PT. Maybank Asset Management, yang sebelumnya bernama PT GMT Aset Manajemen atau PT Maybank GMT Asset Management, PT. Jasa Capital Asset Management yang sebelumnya bernama PT. Prime Capital, PT. Pool Advista Aset Manajemen yang sebelumnya bernama PT. Kharisma Asset Management dan PT. Treasure Fund Investama.
Majelis hakim menyebutkan tindak pidana yang didakwakan kepada 13 terdakwa tersebut tidak ada sangkut paut dan hubungan satu sama lain.
“Konsekuensi pemisahan para terdakwa juga mengakibatkan kehadiran masing-masing terdakwa tidak relevan terhadap terdakwa lainnya, masing-masing terdakwa jadi terpaksa turut serta terhadap pemeriksaan terdakwa lain dan penyelesaian saksi-saksi dari terdakwa yang satu tergantung dengan pemeriksaan terdakwa lainnya,” tambah hakim Eko.
Artinya, majelis hakim melihat perkara tersebut menjadi rumit dan bertentangan dengan asas persidangan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan sehingga JPU Kejaksaan Agung pun menyiapkan surat dakwaan yang baru bagi ke-13 perusahaan keuangan tersebut.
7. Perkara mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara
Pada 23 Agustus 2021, majelis hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Juliari Batubara karena terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
Juliari juga diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara serta mencabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik 4 tahun setelah ia selesai menjalani pidana pokok.
Juliari P Batubara selaku Menteri Sosial RI periode 2019-2021 dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja serta uang sebesar Rp29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain.
Dalam pertimbangannya hakim menyebut perbuatan Juliari dapat dikualifikasi tidak ksatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, bahkan menyangkal perbuatannya serta dilakukan dalam keadaan darurat bencana non-alam yaitu wabah COVID-19.
Berdasarkan fakta persidangan, kata hakim, Juliari bukan hanya menyetujui penerimaan uang melainkan memerintahkan “commitment fee” kepada para penyedia kecuali penyedia yang merupakan titipan Juliari. Politikus PDIP itu juga jelas-jelas melakukan intervensi kepada tim teknis pengadaan bansos.
Akibatnya, hampir seluruh perusahaan penyedia bantuan sosial berupa sembako dalam penanganan COVID-19 di Kemensos tidak memenuhi kualifikasi dan tidak layak menjadi vendor sehingga seharusnya tidak layak ditunjuk dalam pengadaan bansos.
8. Perkara Samin Tan
Dalam sidang 30 Agustus 2021, majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta membebaskan pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM) Samin Tan dari semua dakwaan.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Samin Tan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama maupun alternatif kedua. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan penuntut umum,” kata ketua majelis hakim Panji Surono.
Sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) KPK mendakwa Samin Tan memberikan gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 sebesar Rp5 miliar dalam tiga tahap. Samin Tan dituntut 3 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Menurut majelis hakim, pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor yang menjadi dakwaan Samin Tan bukanlah delik suap melainkan delik gratifikasi, maka tidak mungkin dalam gratifikasi itu mengancam pidana bagi pihak yang memberikan gratifikasi.
“Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU,” ungkap hakim Teguh Santosa.
Padahal Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun penjara dengan pasal penerimaan gratifikasi yang salah satunya berasal dari Samin Tan.
“Menimbang dalam putusan dimana Eni Maulani diputus melanggar pasal 12 huruf B ayat 1 dimana Eni menerima pemberian dari Samin Tan sejumlah Rp5 miliar oleh karenanya terdakwa Samin Tan yang telah memberikan uang ke Eni Maulani Saragih tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Terdakwa dibebaskan dan harus dipulihkan harkat dan martabatnya,” ujar hakim.
Apalagi hakim menilai Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih karena dimintai uang untuk membiayai pencalonan suami Eni sebagai calon kepala daerah di kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
9. Perkara RJ Lino
Mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Richard Joost Lino alias RJ Lino divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan pada 14 Desember 2021.
RJ Lino terbukti melakukan korupsi pengadaan dan pemeliharaan 3 unit Quayside Container Crane (QCC) tahun 2010 di pelabuhan Panjang (Lampung), Pontianak (Kalimantan Barat) dan Palembang (Sumatera Selatan) sehingga mengakibatkan kerugian negara seluruhnya senilai 1.997.740,23 dolar AS.
Namun, putusan tidak diambil dengan suara bulat karena ketua majelis hakim Rosmina menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda), sedangkan dua hakim anggota yaitu Teguh Santoso dan Agus Salim sepakat dengan tuntutan JPU KPK.
Dua orang hakim sepakat dengan hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Unit forensik akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK yang menyatakan pembayaran Pelindo II kepada Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co. Ltd. (HDHM) China untuk biaya pengadaan dan pemeliharaan sebesar 15.165.150 dolar AS dan 1.142.842,61 dolar AS mengakibatkan kerugian negara.
Sementara hakim Rosmina menilah perhitungan kerugian negara oleh KPK tidak cermat.
BPK, menurut Rosmina, menghitung kerugian negara dengan cara menghitung selisih nilai pembayaran pembangunan dan pengiriman dan pemeliharan 3 unit QCC dengan nilai realiasi pengeluaran HDHM.
Sedangkan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memilih untuk (A) menghitung jumlah bersih yang diterima HDHM dari pembayaran Pelindo II, (B) menghitung jumlah pengadaan 3 QCC yaitu nilai HPP di manufaktur di China ditambah dengan margin keuntungan wajar dan biaya lain-lain termasuk biaya pengiriman dan biaya lainnya sampai siap dipakai oleh Pelindo II sehingga jumlah kerugian negara adalah poin (A) dikurangi poin (B).
10. Perkara Asabri
Untuk pertama kalinya semenjak penerapan UU Pemberantasan Tipikor disahkan, JPU mengajukan tuntutan mati kepada terdakwa kasus korupsi.
Terdakwa yang dituntut hukuman mati adalah Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat karena dinilai melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun dari pengelolaan dana PT. Asabri (Persero) serta pencucian uang.
“Menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan primer dan kedua primer. menghukum terdakwa heru hidayat dengan pidana mati,” kata JPU Kejaksaan Agung Budiman di pengadilan Tipikor Jakarta pada 6 Desember 2021.
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pasal 2 ayat (1) atau pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain dituntut hukuman mati, Heru Hidayat juga diwajibkan membayar pidana uang pengganti sebesar Rp12,643 triliun.
Heru Hidayat diketahui juga sudah dipidana seumur hidup dalam kasus korupsi Asuransi Jiwasraya yang nilai kerugian negaranya mencapai Rp16,807 triliun.
“Skema kejahatan yang dilakukan terdakwa baik dalam perkara a quo maupun perkara korupsi Jiwasraya sangat sempurna sebagai kejahatan yang ‘complicated, karena dilakukan dalam periode panjang dan berulang-ulang, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas, secara langsung akibat perbutan terdakwa telah memakan korban anggota TNI/Polri dan ASN/PNS di Kementerian Pertahanan yang menjadi peserta Asabri dan juga ratusan nasabah pada polis Jiwasraya yang juga berdampak sangat besar bagi keluarganya,” ungkap jaksa saat menyampaikan pertimbangan tuntutan mati bagi Heru.
Perbuatan Heru juga disebut telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan negara karena telah menerobos sistem regulasi dsn sistem pengawasan di pasar modal dan asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tidak pandang bulu, serta tanpa rasa takut dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum.
“Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki sedikitpun empati dengan mengembalikan hasil kejahatan yang diperoleh secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan sebaliknya berlindung di suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa kegiatan di pasar modal adalah perbuatan lazim dan lumrah,” tambah jaksa.
Selain Heru, ada enam terdakwa lain yang dituntut hukuman penjara dengan lama pemidanaan bervariasi.
Mereka adalah Dirut PT Asabri Maret 2016 – Juli 2020 Letjen Purn Sonny Widjaja dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan; Dirut PT Asabri 2012 – Maret 2016 Mayjen Purn. Adam Rachmat Damiri yang dituntut hukuman 10 tahun penjara ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan; Direktur Investasi dan Keuangan PT. Asabri 2012 – Juni 2014 Bachtiar Effendi dituntut 12 tahun penjara ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kemudian Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) Lukman Purnomosidi dituntut 13 tahun penjara ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan; Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri Juli 2014 – Agustus 2019 Hari Setianto dituntut 14 tahun penjara ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan; Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo dituntut 15 tahun penjara ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sedangkan seorang terdakwa dalam perkara yang sama yaitu Dirut PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro masih menjalani persidangan.
Pembacaan vonis bagi Heru Hidayat direncanakan akan berlangsung pada 18 Januari 2022.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Dede Eka Nurdiansyah