Jakarta, Aktual.com – Akademisi sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan arus migrasi manusia yang makin tidak terbendung pada era globalisasi menuntut kejelasan posisi hukum keimigrasian dalam kacamata hukum Indonesia.

“Hukum keimigrasian tidak dapat lepas dari aspek hukum tata negara, hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum internasional,” kata Bayu Dwi Anggono melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.

Oleh sebab itu, kata Bayu, empat perspektif hukum tersebut harus untuk menyoroti posisi hukum keimigrasian.

Dari perspektif hukum administrasi negara, para akademisi menyoroti penggunaan istilah tindakan administratif keimigrasian (TAK). Istilah TAK dinilai kurang sesuai sebab frasa yang benar seharusnya adalah sanksi administratif keimigrasian.

Paparan tersebut disampaikan oleh para akademisi terkait dengan kajian mengenai buku Hukum Keimigrasian: Suatu Pengantar yang dibedah bersama para pakar Ilmu Hukum Indonesia, termasuk melibatkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus Guru Besar Hukum Universitas Gajah Mada Edward Omar Sjarief Hiariej beberapa waktu lalu.

Senada dengan itu, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril mengatakan, “Ketika orang asing dideportasi, itu artinya yang bersangkutan terkena sanksi administratif keimigrasian.”

“Ini salah satu masukan saya untuk mengoreksi frasa TAK yang selama ini dipakai oleh Direktorat Jenderal Imigrasi,” kata Oce.

Oleh sebab itu, Oce tidak sependapat dengan istilah yang digunakan Direktorat Jenderal Imigrasi mengenai TAK. Menurut dia, seharusnya ialah sanksi administratif keimigrasian.

Terakhir, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sjarief Hiariej memberikan saran agar praktik diskresi yang jamak dalam pelaksanaan tugas dan fungsi keimigrasian.

Ia berpendapat bahwa seharusnya tidak berjalan tanpa kejujuran dan kepatutan dalam bertugas (asas bonafiditas) dibahas dalam buku tersebut.

“Perlu dicatat diskresi ini tidak lepas dari asas bonafiditas yang mutlak harus dimiliki oleh petugas imigrasi,” katanya.

Hal tersebut, menurut dia, menjadi penting untuk dibahas karena hukum keimigrasian menganut kebijakan selektif (selective policy).

Buku tersebut dinilainya bukan cuma menjadi penambah wawasan hukum bagi petugas imigrasi, melainkan bisa menjadi pintu perkenalan kepada masyarakat umum mengenai fleksibilitas aturan pelayanan keimigrasian serta jalannya penegakan hukum keimigrasian.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Dede Eka Nurdiansyah