Denpasar, Aktual.com – Majelis Desa Adat Provinsi Bali mengeluarkan surat penegasan agar pawai ogoh-ogoh saat Pangrupukan yang berkaitan dengan rangkaian Hari Suci Nyepi tahun 2022 tidak dilaksanakan.

“Mengingat saat ini kondisi COVID-19 di Bali belum dalam kondisi melandai, melainkan justru meningkat kembali secara ekstrem,” kata Bandesa Agung MDA Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet seperti dalam surat tertulisnya di Denpasar, Senin (14/2).

Surat penegasan dengan nomor 104/MDA-Prov Bali/II/2022 tertanggal 11 Februari 2022 itu merupakan penegasan terhadap Surat Edaran MDA Provinsi Bali, Nomor:009/SE/MDAPBali/XII/2021, tertanggal 22 Desember 2021.

Pada ketentuan pengaturan angka 1 pada SE MDA Bali pada 22 Desember 2021 itu tercantum bahwa pembuatan dan pawai ogoh-ogoh agar tetap mencermati kondisi dan situasi penularan “gering tumpur agung” COVID-19, dan memastikan sudah dalam kondisi yang melandai.

Selain itu, tidak ada kebijakan baru pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terkait dengan pembatasan aktivitas.

Sukahet dalam suratnya juga menyampaikan, selain kondisi COVID-19 yang belum melandai, juga telah ada kebijakan baru dari pemerintah seperti status Bali dinaikkan dari PPKM Level 2 menjadi Level 3, dan kembali diberlakukan pembatasan kerumunan.

“Maka dengan sendirinya berarti pawai ogoh-ogoh saat Pangrupukan yang berkaitan dengan rangkaian Hari Suci Nyepi, Tahun Baru Isaka 1944 tidak dilaksanakan,” ucapnya.

Selain itu, rangkaian kegiatan Malasti, Tawur Kasanga serangkaian Nyepi yang jatuh pada 3 Maret 2022 itu dilaksanakan dengan memperhatikan sejumlah hal.

Pertama, bagi desa adat yang wilayahnya berdekatan dengan segara (laut), ritual melasti di pantai; kemudian malasti di danau yang wilayahnya berdekatan dengan danau, dan yang wilayahnya berdekatan dengan campuhan (muara), malasti di campuhan. Di samping itu, bagi desa adat yang memiliki Beji dan/atau Pura Beji, malasti di Beji.

“Bagi desa dat yang tidak melaksanakan Malasti karena wilayahnya berjauhan dengan sumber-sumber air tersebut, dapat Malasti dengan cara Ngubeng atau Ngayat dari Pura setempat,” ucap Sukahet.
​​​​​​
Selanjutnya membatasi jumlah peserta yang ikut dalam prosesi upacara Malasti paling banyak 50 orang,

Kemudian dilarang memakai/membunyikan petasan/mercon dan sejenisnya dan bagi krama (warga) desa adat yang sakit atau merasa kurang sehat, agar tidak mengikuti rangkaian upacara.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
As'ad Syamsul Abidin