Jakarta, Aktual.com – Di Kalimantan Selatan, ada sebuah kota di wilayah utara Hulu Sungai, bernama Kota Amuntai. Di kota inilah dulu saya dididik dan dibesarkan. Di sebuah pondok pesantren bernama Rasyidiyah Khalidiyah, yang tersohor karena pernah melahirkan seorang Pahlawan Nasional, Almaghfurlah Dr. KH. Idham Chalid.
Di Amuntai lah saya mengalami perjumpaan intelektual-spiritual dengan para guru yang alim dan ‘arif billah. Mulai dari almaghfurlah Muallim Aini Anang, Muallim Saberan Afandi, Muallim Husin Naparin, Muallim Rif’an Syafruddin, Muallim Akhmad Subehan, Muallim Sarmadi, dan para tuan guru mulia yang lain. Ada lagi yang membekas dan terkenang, yakni Almaghfurlah Muallim Tuan Guru Haji Jailani Abin Dulah. Kala itu, selain mengajar di Pondok Pesantren, beliau juga mengabdi sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Hulu Sungai Utara. Dan ketika nama beliau disebut, asosiasi pikiran kita pasti adalah Ketua MUI.
Di kampung, kami merasakan betul betapa MUI punya marwah, haybah, dan kewibawaan. Kalau Muallim Jailani Abin sudah naik ke atas mimbar Masjid Raya Amuntai, semua jamaah hening dan khidmat menyimak khutbah. Beliau mengenakan jubah kebesaran dan sorban di kepala, dan suaranya menggelegar. Kalimat “Ittaqullaah” yang keluar dari lisan beliau masih membekas rasanya.
Para Ulama dan masyarakat juga menaruh hormat, karena dari sekian banyak Ulama dan Tuan Guru se-Kabupaten, beliau lah pemimpin mereka. Jika Ketua MUI panggil Bupati atau pejabat, mereka bergegas untuk sowan dan menghadap. Bukan sebaliknya. Demikianlah gambaran MUI di kampung kami kala itu. Sekali lagi, kala itu.
Sedangkan hari ini, konon katanya, MUI mau dilemahkan. Didekonstruksi marwah dan wibawanya, dicabut kewenangannya. Diagitasi dan propaganda pula langkah dan sepak terjangnya. Disamakan dengan LSM dan ormas pada umumnya. Distigma sebagai sarang “kadrun” dan aneka stereotype lainnya.
Memang, kita juga tak bisa menutup mata bahwa ada sejumlah masalah di dalamnya. Misalnya soal eksistensi para ustadz yang terasosiasi pada kelompok ormas Islam yang non-moderat. Lalu soal Sertifikasi Halal yang bagi sebagian orang problematik, dan hari ini diambil alih oleh Kementerian Agama kewenangannya via BPJPH. Atau juga soal sikap politik sejumlah pengurus MUI yang dianggap tidak bisa menjadi mitra strategis pemerintah.
Pertanyaannya, apakah lantas dengan sejumlah permasalahan tersebut, lalu MUI harus dilemahkan? Atau bahkan harus dibubarkan sebagaimana usul sementara orang? Sedangkan kita tahu, negara kita menjamin kemerdekaan berserikat. Buruh boleh berserikat. Aktivis boleh berserikat. Politisi boleh berserikat. Pengusaha boleh berserikat. Masa Ulama sebagai pelayannya umat nggak boleh kumpul-kumpul?
Padahal kita semua tahu, betapa masyarakat merasakan kehadiran MUI sebagai “tempat kembali” atas segala keresahan-keresahan tentang hukum syariah dan lain-lain. Sebagaimana karakter antropologis bangsa kita yang “patron klien”, kehadiran MUI menjawab hajat masyarakat dan umat atas ketetapan hukum syariah.
Sebab semakin modern zaman, kebutuhan akan kehadiran fatwa Ulama akan semakin kompleks dan dinamis. Jika dulu orang hanya bertanya tentang hukum bank konvensional, hari ini semakin kompleks. Mulai dari hukum trading saham, mata uang kripto, aneka bisnis yang berbasis digital, dan lain-lain. Ini artinya, hajat akan kehadiran MUI saat ini dan di masa depan masih sangat besar. Ironis rasanya jika hanya karena persoalan politik dan ego sektoral, MUI sebagai wadah kumpul-kumpulnya para Kiai, para Buya, dan para Tuan Guru ini malah ingin dilemahkan. Sedangkan pada organisasi atau perkumpulan yang berasaskan kebebasan, mendukung LGBT, dan lain-lain, kita nampak permisif dan santai-santai saja.
Alhasil, dari tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa MUI harus dikuatkan, dan dijaga wibawa serta eksistensinya. Sejumlah nama besar lahir dan pernah mewarnai MUI. Mulai dari Almaghfurlah Buya Hamka, Kiai Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. Ali Yafie, Kiai Sahal Mahfudz, Prof. Din Syamsuddin, sampai Wakil Presiden kita Abuya Kiai Ma’ruf Amin dan juga Romo Kiai Miftahul Achyar. Nama-nama besar yang tentu kita semua mafhum atas peran sosial, agama, dan kebangsaannya. Maka menjaga MUI adalah menjaga sejarah, dan menjaga Indonesia.
Oleh: Khairi Fuady
Anak Muda Nahdlatul Ulama (NU)
(Artikel ini kami tayang ulang tayang dari beritasatu.com sebagai sarana informasi)
Artikel ini ditulis oleh:
A. Hilmi