Nelayan mempersiapkan jaring pukat darat untuk menangkap ikan secara tradisional di pesisir pantai Gampong Jawa, Banda Aceh, Aceh, Senin (18/10/2021). (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/rwa)

Jakarta, Aktual.com – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan agar kalangan nelayan di berbagai daerah harus dapat memperoleh akses mudah kepada bahan bakar minyak (BBM) yang murah agar biaya melaut nelayan dapat ditekan dan pendapatan nelayan dapat meningkat.

“Kuncinya ada di kepastian kuota BBM pertalite dan solar bagi nelayan kecil dan memperbanyak infrastruktur distribusi agar nelayan tidak membeli BBM di eceran,” kata Ketua Harian KNTI Dani Setiawan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (3/4).

Dani Setiawan menyatakan hal tersebut terkait dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan menyatakan bahwa pertalite telah masuk ke dalam jenis bahan bakar penugasan.

Menurut dia, konsekuensi dari perubahan ini antara lain regulasi yang dikeluarkan oleh BPH Migas harus diubah tentang syarat pembelian BBM untuk nelayan dengan memasukkan jenis baru ini.

“Sebab di lapangan, nelayan pengguna premium, sekarang pertalite, tidak bisa beli BBM di SPBU karena harus pakai surat rekomendasi. Kedua, harga beli pertalite di tingkat nelayan berpotensi lebih mahal karena sebagian besar nelayan membeli BBM di eceran. Hal ini akan menyebabkan biaya melaut nelayan lebih tinggi,” kata Ketua Harian KNTI.

Buat nelayan kecil, lanjutnya, dampak struktural hilangnya premium lebih besar daripada solar karena pengguna premium itu biasanya kapal kecil (berukuran 3 gross tonnage/GT ke bawah) yang menggunakan perangkat mesin tempel.

Jika diasumsikan mereka beli pertalite 5-10 liter per hari, menurut dia, maka biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp43.000 – Rp85.000, dengan asumsi beli di eceran, atau 38 ribu-76 ribu, bila membeli di SPBU.

“Biaya yang dikeluarkan lebih besar dari sebelumnya ketika gunakan premium,” katanya.

Dani mengungkapkan, respons nelayan kecil terkait hal itu adalah dengan mengurangi mengurangi pembelian BBM, yang akibatnya jarak tempuh atau lama melaut akan dikurangi, sehingga bisa berdampak pada berkurangnya pendapatan mereka.

Selain itu, ujar dia, respons nelayan kecil adalah dengan tetap membeli BBM dengan jumlah normal, yaitu jarak tempuh dan lama melaut tidak berubah, tetapi pendapatan akan menyusut dipotong biaya BBM.

“Di sisi lain, ada potensi nelayan kecil mendapat keuntungan karena penurunan harga beli BBM pertalite dengan kebijakan baru ini. Tetapi syaratnya kuota dan infrastruktur distribusi memadai dan bisa diakses nelayan kecil. Nelayan anggota KNTI di Tarakan misalnya, selama ini membeli pertalite Rp8000/liter (mendekati harga normal sekitar Rp7.850-harga wilayah Kalimantan). Nelayan Lombok Timur beli pertalite Rp10.000/liter (harga eceran), sedangkan harga normal sekitar Rp7.650. Begitupun nelayan kecil di Aceh,” paparnya.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memprediksikan penyaluran bahan bakar minyak jenis pertalite akan melebihi kuota 15 persen hingga akhir tahun ini.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan realisasi penyaluran pertalite tercatat sebanyak 4,25 juta kiloliter hingga Februari 2022 atau telah melebihi 18,5 persen terhadap kuota secara year to date.

“Jika diestimasikan melalui normal scenario, maka di akhir 2022 akan terjadi over kuota sebesar 15 persen dari kuota normal,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Selasa (29/3).

Pemerintah telah menetapkan kuota pertalite untuk tahun ini sebesar 23,05 juta. Dengan kata lain, apabila betul terjadi kelebihan kuota sesuai estimasi Kementerian ESDM, maka volume penyaluran pertalite akan mencapai 26,5 juta kiloliter.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
A. Hilmi