Pernyataan Dirut PT Pertamina Holding Nicke Widyawati baru baru ini di depan anggota DPR RI Komisi VI, dalam acara dengar pendapat pada hari Senin 28/3/2022, tentu sangat menarik untuk dicermati oleh segenap penegak hukum, khususnya KPK.
Sebab, Nicke didalam rapat itu telah menyatakan, bahwa salah satu penyebab kelangkaan Biosolar di SPBU Pertamina di berbagai daerah, diduga ada penyelewengan penggunaan BBM Solar Subsidi tetap atau Biosolar oleh industri tambang dan perkebunan, informasi itu layak dicermati.
Pernyataan Nicke itu, didasari adanya peningkatan konsumsi Biosolar mencapai 93%, disaat yang sama malah terjadi penurunan drastis penggunaan solar non subsidi atau Dex seri hanya 7 %, karena disparitas harga jualnya yang cukup tinggi.
Jika pernyataan Dirut Pertamina itu benar, tentu pertanyaan kritisnya apa guna proyek digitalisasi SPBU bernilai Rp 3,6 triliun itu ?, artinya proyek itu telah gagal memonitor untuk bisa mengendalikan penjualan Biosolar dan Premium agar tidak salah sasaran, karena khusus untuk konsumsi rakyat bawah.
Tampaknya saat ini diberbagai daerah, sudah muncul rasa frustasi di kalangan awak supir supir truk, terutama yang mengangkut kebutuhan bahan pokok dan pengangkutan kebutuhan proyek infrastruktur, akibat kesulitan mendapatkan Biosolar di daerah, bahkan beredar ada ocehan mereka, “untuk apa harga Biosolar murah tapi tak ada barangnya, mending mahal tapi ada barangnya, apa ini cara mafia ?”.
Artinya, supir supir truk itu sudah tak perduli dan tak merasa penting terhadap dialog dialog antara pihak Pertamina dengan DPR, KESDM maupun dengan BPH Migas, apalagi soal terminologi langka dan over kuota 10 %, sangat tak penting kata mereka, makin pening kepala kami, bagi kami yang penting ada barang itu berupa Biosolar.
Menurut kawan saya di Riau dan Kalimantan, tak terasa menetes air matanya melihat supir supir itu puluhan jam antri di SPBU belum tentu pun dapat Biosolar, padahal disekitarnya tampak banyak kepala sumur minyak itu lagi menganguk ngangguk tanda berproduksi, bahkan termasuk kiri kanan tempat itu sepanjang jalan penuh lahan sawit, tapi koq susah kita ya….tanya dia.
Selain itu, menurut perjanjian Pertamina wajib membayar Rp 15,25 perliter dari jumlah BBM diseluruh Indonesia kepada PT Telkom selama lima tahun.
Jika konsumsi BBM nasional melalui SPBU Pertamina dengan asumsi perhari 135.000 KL tanpa pertumbuhan selama 5 tahun, maka Pertamina wajib menyetor ke Telkom sekitar Rp 2 miliar perhari, selama lima tahun. Maka sungguh sia sialah proyek digitalisasi jika tidak mampu mengontrol potensi kebocoran subsidi sekitar 20 triliun setiap tahun dari APBN.
Padahal, Pertamina sudah mengoperasikan digitalisasi SPBU sejak tahun 2021, meskipun terlambat dua tahun dari target awalnya. Proyek Digitalisasi seluruh SPBU di Indonesia adalah produk Perjanjian Kerja Sama antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Telkom Tbk di tanda tangani pada 31 Agustus 2018, proyek tersebut di inisiasi oleh Mas’ ud Khamid sebagai Direktur Pemasaran Retail Pertamina saat itu.
Adapun tujuan digitalisasi SPBU ini dimaksudkan untuk memonitor peredaran penjualan Biosolar atau Solar subsudi tetap dan penjualan Premium secara real time di kantor Pertamina, KESDM dan BPH Migas, agar penyaluran BBM subsidi dan BBM penugasan tepat sasaran bagi pengguna yang berhak, sesuai Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Eceran BBM, yang ditanda tangani Presiden Jokowi pada 31 Desember 2014.
Oleh sebab itu, jika KPK tidak menindak lanjuti permintaan Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa pada awal Januari tahun 2021, untuk melakukan audit tehnologi terhadap sistem digitalisasi SPBU tersebut, maka tak salah jika rakyat menganggap KPK ikut lalai dalam menjaga kebocoran anggaran negara untuk penyaluran BBM Subsidi, maupun BBM Penugasan.
Oleh:
Direktur Eksekutif CERI,
Yusri Usman
Artikel ini ditulis oleh: