Jakarta, aktual.com – Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen APTIKA) menghimbau para pemuda dan pelajar khususnya, serta seluruh masyarakat Indonesia, untuk meningkatkan literasi digital. Hal ini agar masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital dengan bijak.

Literasi media sosial merupakan bentuk upaya membangun kesadaran dalam bermedia sosial yang memiliki norma, nilai dan hukum positif yang berdampak pada kehidupan nyata. Hal ini akan mempengaruhi pembentukan pengetahuan kritis dalam mencerna konten dan unggahan di media sosial. Hal itu, disampaikan dalam diskusi hybrid Seminar Literasi Digital, dengan tema “Literasi digital Menyikapi Fenomena Crazy Rich di Media Sosial” beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan tersebut, terhubung secara hybrid Samuel Abrijani Pangerapan, selaku Direktur Jenderal APTIKA. Serta hadir secara langsung di studio yang berlokasi di Akademi Bela Negara Jakarta, Wakil Ketua Umum DPP GPNasDem sekaligus Ketua Bidang Hubungan Badan & Sayap GP NasDem, Ivanhoe Semen, dan juga Anggota Komisi I DPR RI, Kresna Dewanata Phrosakh. Ketiganya bicara bagaimana pentingnya pemahaman masyarakat terhadap literasi digital agar masyarakat dapat menggunakan kemajuan teknologi secara positif.

Dirjen APTIKA Samuel Abrijani membuka seminar melalui video sambutan. Beliau menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya penggunaan internet dari tahun ke tahun harus dibarengi dengan kewaspadaan masyarakat terhadap penipuan online, hoaks, cyber bullying, dan konten-konten negatif lainnya.

“Maka dengan adanya peningkatan penggunaan teknologi digital ini harus seimbang dengan kapasitas literasi digital yang memenuhi, agar masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital dengan bijak,” ucapnya melalui keterangan persnya di Jakarta, Kamis (14/4/2022).

Ivanhoe mengatakan, bahwa di situasi pandemi banyak masyarakat yang terdampak dalam bidang ekonomi maupun lainnya. Sedangkan akhir-akhir ini dikenal sebuah istilah flexing dimana sebagian orang menunjukan aktivitas mereka yang terlihat mewah di media sosial. Menurut ivan hal ini merupakan sebuah hal yang kontras dengan keadaan masyarakat yang sedang terdampak pandemi. Mereka menunjukan kepada masyarakat bahwa siapa saja dari kalangan manapun dapat menjadi seperti mereka dengan cara yang instan.

“Dengan adanya diskusi ini maka diharapkan masyarakat tidak mudah tertipu hanya karena ingin mendapatkan sesuatu dengan cara instan” ujarnya.

Ivan melanjutkan bahwa di era ini literasi digital sangat diperlukan agar masyarakat memahami bahwa segala sesuatu butuh proses, jangan mudah tertipu dengan proses instan.

Sebagai pembicara terakhir, Kresna Dewanata kemudian menebalkan sekali lagi. Bahwa tujuan utama dari flexing adalah pengakuan dari orang lain dan psikologis bahwa ada sebuah kepuasan diatas pengakuan tersebut.

“Mereka bukan crazy rich melainkan mereka menggunakan media sosial dengan sengaja, sistematis dan strategis untuk merancang kesan berhasil dan kaya dengan mudah sebagai sebuah perangkap bagi publik yang tidak memiliki literasi kritis dalam bermedia sosial untuk memasuki skema penipuan yang sudah disiapkan mereka,” tegasnya.

Dewa juga mengatakan bahwa saat ini Komisi I DPR RI dan Kominfo sedang merancang Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Yang bertujuan agar data-data pribadi masyarakat tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

“Literasi digital memampukan kita merespon masalah flexing dan bragging ini dengan lebih kritis dan cerdas dengan pemaknaan berbasis pada kepentingan kita masing-masing” tegas Dewa.

Seminar Literasi Digital tersebut berlangsung selama kurang lebih 3 jam. Dengan dihadiri 250 peserta yang terdaftar sebagai pelajar, mahasiswa, para pengusaha, aktivis pegiat sosial hingga ibu-ibu rumah tangga.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin